Sabtu, 19 September 2015

Seni Budaya Wayang Di Indonesia

Asal usul Wayang Dalam Berbagai Versi 

Pertunjukan wayang kulit telah dikenal di pulau Jawa semenjak 1500 SM. Semasa kerajaan Kediri, Singasari dan Majapahit, wayang mencapai puncaknya seperti tercatat pada relief di candi-candi serta di dalam karya-karya sastra yang ditulis oleh Empu Sendok, Empu Sedah, Empu Panuluh, Empu Tantular dan lain-lain. Epos Ramayana dan Mahabarata yang asli berasal dari India, telah diterima dalam pergelaran wayang Indonesia sejak zaman Hindu hingga sekarang. Wayang seolah-olah identik dengan Ramayana dan Mahabarata.

Namun perlu dimengerti bahwa Ramayana dan Mahabarata Indonesia dengan India sudah berubah alur ceritanya. Ramayana dan Mahabarata versi India ceritanya berbeda satu dengan lainnya sedangkan di Indonesia ceritanya menjadi satu kesatuan. Yang sangat menonjol perbedaanya adalah falsafah yang mendasari kedua cerita itu, lebih-lebih setelah masuknya agama Islam, diolah sedemikian rupa sehingga terjadi proses akulturasi dengan kebudayaan asli Indonesia.

Di Indonesia walaupun cerita Ramayana dan Mahabarata sama-sama berkembang dalam pewayangan, tetapi Mahabarata digarap lebih tuntas oleh para budayawan dan pujangga kita. Berbagai lakon carangan dan sempalan, kebanyakan mengambil Mahabarata sebagai inti cerita.

Masuknya agama Islam ke Indonesia pada abad ke-15, membawa perubahan besar terhadap kehidupan masyarakat Indonesia. Begitu pula wayang telah mengalami masa pembaharuan baik secara bentuk dan cara pergelaran wayang purwa maupun isi dan fungsinya. Pada zaman Demak nilai-nilai yang dianut menyesuaikan dengan zamannya. Bentuk wayang purwa yang semula realistik proporsional seperti tertera dalam relief candi-candi distilir menjadi bentuk imajinatif seperti wayang sekarang. Selain itu, banyak sekali tambahan dan pembaharuan dalam peralatan seperti kelir (layar), blencong (lampu), debog (yaitu pohon pisang yang digunakan untuk menancapkan wayang) dan masih banyak lagi.

Para wali dan pujangga Jawa mengadakan pembaharuan yang berlangsung terus menerus sesuai perkembangan zaman dan keperluan pada waktu itu, utamanya wayang digunakan sebagai sarana dakwah Islam. Sesuai nilai Islam yang dianut, isi dan fungsi wayang bergeser dari ritual agama Hindu menjadi sarana pendidikan, dakwah, penerangan, dan komunikasi massa. Ternyata wayang yang telah diperbaharui konstektual dengan perkembangan agama Islam dan masyarakat. Wayang purwa menjadi sangat efektif untuk komunikasi massa dalam memberikan hiburan serta pesan-pesan kepada khalayak.

Perkembangan wayang purwa semakin berkembang pada era kerajaan-kerajaan Pajang, Mataram, Kartasura, Surakarta, dan Yogyakarta. Banyak sekali pujangga-pujanga yang menulis tentang wayang, dan menciptakan wayang-wayang baru. Para seniman wayang purwa banyak membuat kreasi-kreasi yang kian memperkaya wayang purwa. Begitu juga para seniman dalang semakin profesional dalam menggelar pertunjukan wayang, tak henti-hentinya terus mengembangkan seni tradisional wayang purwa ini. Dengan upaya yang tak kunjung henti, membuahkan hasil yang menggembirakan dan membanggakan. Wayang menjadi seni yang bermutu tinggi dengan sebutan ‘adiluhung’. Wayang terbukti mampu tampil sebagai tontonan yang menarik sekaligus menyampaikan pesan-pesan moral keutamaan hidup. Fungsi dan peranan ini terus berlanjut hingga dewasa ini.

Wayang bukan lagi sekedar tontonan bayang-bayang atau “shadow play”, melainkan sebagai ‘wewayangane ngaurip’ yaitu bayangan hidup manusia. Dalam suatu pertunjukan wayang dapat dinalar dan dirasakan bagaimana kehidupan manusia itu dari lahir hingga mati. Perjalanan hidup manusia untuk berjuang menegakkan yang benar dengan mengalahkan yang salah. Dari pertunjukan wayang dapat diperoleh pesan untuk hidup penuh amal saleh guna mendapatkan keridhoan Illahi. Wayang juga secara nyata menggambarkan konsepsi hidup “sangkan paraning dumadi”, manusia berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya.

Melestarikan Aset Budaya Warisan leluhur

Warisan budaya nasional atau warisan budaya bangsa adalah cermin tingginya peradaban bangsa. Dan salah satu ciri bangsa besar dan maju adalah bangsa yang mampu menghargai dan melestarikan warisan budaya nenek moyang mereka. Semakin banyak warisan budaya masa lampau yang bisa digali dan dilestarikan, maka sudah semestinyalah peninggalan budaya tersebut semakin dihargai. Barulah disadari betapa kaya dan melimpah ruahnya warisan budaya nenek moyang kita yang ternyata selama ini terabaikan, terlantar dan tidak dipedulikan. Penyebabnya bisa karena ketidaktahuan, kurangnya kesadaran dan pemahaman akan pentingnya warisan budaya, maupun karena ingin mendapatkan keuntungan pribadi dengan mengoleksi atau memperdagangkannya. Warisan atau khazanah budaya bangsa merupakan karya cipta, rasa, dan karsa masyarakat di seluruh wilayah tanah air Indonesia yang dihasilkan secara sendiri-sendiri maupun akibat interaksi dengan budaya lain sepanjang sejarah keberadaanya dan terus berkembang sampai saat ini. Warisan budaya itu mencakup sesuatu yang berwujud seperti candi, istana, bangunan, tarian, musik, bahasa, manuskrip (naskah kuno), dan yang tidak berwujud seperti filosofi, nilai, keyakinan, kebiasaan, konvensi, adat-istiadat, etika dan lain sebagainya. Sebagai sebuah negara yang kaya dengan warisan budaya, sudah sepatutnya pemerintah dan seluruh warga negara Indonesia berkomitmen untuk melestarikan warisan yang sangat tinggi nilainya itu agar tidak musnah, hancur, lapuk, dipindahtangankan, ataupun hilang karena dicuri, dirampas baik dengan terang-terangan maupun secara halus. Pelestarian warisan budaya bangsa dapat diartikan sebagai kegiatan terus menerus untuk menjaga kumpulan kekayaan akal-budi, pengetahuan, dan budaya bangsa untuk tetap hidup dan bermanfaat bagi masyarakat masa kini dan masa yang akan datang. Oleh sebab itu upaya pelestarian khazanah budaya nasional secara tidak langsung menjadi upaya menjaga nama baik bangsa Indonesia di mata Internasional.

Harus diakui bersama di Indonesia masalah pelestarian budaya dan kegiatan pendukungnya masih sangat lemah. Banyak contoh menguatkan pernyataan tersebut. Kasus paling aktual adalah diklaimnya beberapa produk kebudayaan asli Indonesia oleh pemerintah Malaysia. Setelah pencak silat, batik, angklung bahkan reog dicoba untuk diakui sebagai produk Malaysia, besar kemungkinan produk budaya lain segera menyusul diklaim pihak lain. Upaya perawatan dan penyimpanan sebagai bagian utama pelestarian kondisinya juga sangat memprihatinkan. Museum-museum yang dikelola pemerintah kondisinya dapat dikatakan seperti pepatah “hidup segan mati tidak mau” . Contoh nyata dan aktual lainnya adalah pencurian patung-patung di Museum Radyapustaka Surakarta diganti dengan patung-patung palsu . Dalam bidang sastra, naskah-naskah melayu kuno yang banyak dimiliki oleh penduduk dan keluarga mantan kerajaan-kerajaan di daerah Riau, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Bangka Belitung dan sekitarnya ramai-ramai menjadi incaran kolektor dari Malaysia dan Singapura. Upaya membangun Koleksi Indonesiana masih jauh dari harapan.

Upaya pelestarian peninggalan budaya belum menjadi kebutuhan bangsa Indonesia. Menjadi ironis bila literatur tentang Indonesia justru terbanyak di Universitas laiden di Belanda. Universitas Cornell di New York AS. Belum ada kebanggaan di masyarakat maupun pemerintah terhadap peninggalan nenek moyangnya. Berbeda dengan di Irak dimana rakyat dan pemerintahnya sangat menghargai warisan leluhur. Artefak-artefak dan naskah kuno menjadi kebanggaan bangsa masih terpelihara dengan baik. Sehingga untuk meruntuhkan mental dan semangat rakyat Irak, peninggalan yang tidak ternilai itu menjadi sasaran gempuran pihak AS. Sebagai bangsa tentu kita semua iri akan kondisi seperti di atas. Slogan bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya masih sebatas sebuah slogan. Terlebih upaya pelestarian peninggalan budaya bukan aktivitas yang menarik perhatian masyarakat dan mendatangkan banyak keuntungan finansial.

Maka disinilah peran perpustakaan yang merupakan tempat pelestarian budaya bangsa. Perpustakaan sebagai bagian integral pembangunan bertujuan untuk mendidik masyarakat, memberi daya kreasi, prakarsa dan swadaya untuk meningkatkan kemajuan kehidupan dan kesejahteraan dengan menyediakan berbagai kebutuhan pengetahuan dan informasi dalam rangka kepentingan pendidikan, penelitian, pelestarian dan pengembangan kebudayaan bagi masyarakat. Eksistensi perpustakaan dalam mengantisipasi arus globalisasi nilai strategis dalam kiprahnya sebagai sarana informasi yang cepat, tepat dan bermanfaat demi peningkatan dan pengembangan masyarakat. Bahwa dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, perpustakaan sebagai wahana belajar sepanjang hayat mengembangkan potensi masyarakat agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan nasional dan juga sebagai salah satu upaya untuk memajukan kebudayaan nasional, perpustakaan merupakan wahana pelestarian kekayaan budaya bangsa maka sudah selayaknya perpustakaan itu tetap ada walaupun perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi begitu pesat namun perpustakaan sebagai rangkaian catatan sejarah masa lalu yang merupakan hasil budaya umat manusia yang sangat tinggi harus tetap dilestarikan.

Dengan munculnya Undang-Undang Nomor 4 tahun 1990 yang berkaitan dengan upaya pelestarian aset bangsa tentang serah simpan karya cetak dan karya rekam. Dari sinilah tujuan utama perpustakaan adalah untuk mewujudkan koleksi nasional dan melestarikannya sebagai hasil budaya bangsa dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Kita tahu bahwa karya cetak dan karya rekam sebagi rekaman ilmu dan pengetahuan manusia dapat berfungsi sebagai sumber belajar, penelitian, informasi berbagai disiplin ilmu dan rekreasi budaya. Selain itu, karya cetak dan karya rekam suatu bangsa merupakan records of the nation knowledge dan juga merupakan bagian records of human knowledge. Kemudian juga koleksi karya cetak dan karya rekam suatu bangsa merupakan koleksi hasil karya nasional yang merefleksikan tinggi rendahnya budaya dan peradaban bangsa. Perpustakaan adalah sebagai pusat sumber ilmu dan pelestari budaya manusia. Berarti disini perpustakaan bertanggungjawab untuk merawat, menjaga, dan melestarikan budaya manusia. Hasil karya cetak dan karya rekam di dalam suatu bangsa selalu berkembang, bertambah setiap masa dan setiap tahunnya. Untuk keperluan pelestarian hasil cipta, karsa dan karya budaya bangsa itu dibutuhkan atau diperlukan sekali undang-undang. Undang-undang tersebut dimaksudkan mewajibkan setiap negara menyerahkan secara cuma-cuma kepada atau beberapa perpustakaan yang ditunjuk oleh undang-undang tersebut untuk dikelola sebagai koleksi karya budaya bangsa. Dengan kewajiban serah simpan ini memungkinkan dapat terkumpul dan terlestarikannya hasil budaya bangsa secara lengkap.

Dengan perkembangan teknologi, hasil budaya intelektual manusia tidak hanya tertuang dalam karya cetak dan karya tulis tetapi dapat pula rekaman berbagai bentuk pita, piringan, film, dan bentuk media sejanis lainnya. Perpustakaan-perpustakaan yang ditunjuk untuk menerima wajib serah simpan karya cetak dan karya rekam bukan saja diwajibkan untuk melestarikan karya termaksud, akan tetapi juga diwajibkan mendayagunakan bagi masayarakat dan mempromosikannya untuk masyarakat. Sehingga karya bangsa akan tetap terjaga, terawat, lestari, dan dapat didayagunakan oleh masyarakat. Sastrawan terkemuka Inggris H.G Wells mengingatkan, jika ingin menghancurkan suatu bangsa maka hancurkanlah seluruh aset “yang didalamnya termasuk buku, karya cetak dan karya rekam” di semua perpustakaan. Artinya, jika ingin membuat suatu bangsa bodoh dan terbelakang, maka jangan ada ilmu pengetahuan yang bersumber dari perpustakaan.

Cara Pelestarian Aset Bangsa

Secara sederhana kita dapat mengatakan bahwa melestarikan berarti memelihara atau menyimpan baik-baik sesuatu agar tidak lenyap begitu saja. Namun pelestarian, apa pun, sesungguhnya tidak sesederhana itu. Pelestarian bertujuan untuk menjadikan sesuatu tetap ada seperti aslinya, tidak rusak, tidak musnah. Pelestarian khasanah budaya bangsa memang dapat dilakukan dengan berbagai cara. Perpustakaan dapat membuat program kegiatan yang mendorong masyarakat lebih banyak menulis mengenai seluruh aspek budaya bangsa untuk didokumentasikan. Perpustakaan dapat melakukan kegiatan untuk lebih menyebar-luaskan informasi dan literatur mengenai semua aspek budaya bangsa, serta berbagai program kegiatan lain yang dapat membuat seluruh lapisan masyarakat sadar, mengetahui dan tidak asing dengan informasi seluruh aspek budaya bangsa. Tentu saja perpustakaan tidak dapat bekerja sendiri. Perpustakaan harus selalu menjalin kerjasama dengan berbagai pihak dan komponen masyarakat, termasuk tentu saja dengan lembaga-lembaga terkait. Namun program kegiatan yang tidak kalah pentingnya dan sama sekali tidak dapat dilupakan adalah tindakan menjaga khasanah budaya bangsa yang sudah terekam dan sudah tersimpan sebagai koleksi di perpustakaan dan di seluruh lembaga yang bertugas menyimpan dan mengoleksi dokumen dan informasi budaya bangsa di seluruh Indonesia. Salah satu caranya, seperti yang sudah diuraikan diatas, adalah melakukan usaha preventif untuk mencegah sedini mungkin dan secara efektif meminimalkan kehilangan aset budaya bangsa.

Menurut penulis, hal pertama yang perlu disadari adalah bahwa pelestarian harus diawali dengan apresiasi. Persoalannya adalah kesadaran mayoritas masyarakat kita untuk memelihara sesuatu masih sangat minim, apalagi kalau menyangkut milik umum. Hal ini dapat kita buktikan dari perilaku sehari-hari masyarakat yang kurang peduli kepada fasilitas umum, seperti telepon umum (banyak yang sengaja dirusak), halte (penuh dengan coretan dan pengrusakan), dan lain-lain. Artinya, belum muncul iklim preservasi yang optimal. Keinginan memelihara suatu produk budaya biasanya bersifat sporadis dan hanya dilakukan oleh kelompok tertentu yang menganggap produk tersebut penting bagi mereka. Merujuk pada konsep pelestarian, ada tiga hal pokok yang menjadi permasalahan utama dalam pelestarian khasanah bangsa, yaitu : pengumpulan , pengolahan, dan akses.

Pengumpulan, merupakan kegiatan awal yang menentukan sebuah aset bangsa akan disimpan. Pemerintah atau lembaga terkait harus dapat meyakinkan bahwa setiap hasil budaya yang dibuat harus memiliki arsip di tempat tertentu. Pengumpulan juga dapat menjadi gambaran tingkat kreatifitas pekerja seni dari segi kuantitas. Masyarakat dengan mudah dapat mengetahui berapa jumlah budaya Indonesia yang dibuat dalam satu tahun. Pengumpulan dapat melibatkan lembaga pendidikan, rumah produksi, pekerja seni, dan perpustakaan.

Pengolahan, berkaitan dengan pemeliharaan agar hasil budaya bangsa tersebut tetap utuh seperti aslinya. Mengingat berbagai hasil budaya yang cenderung rapuh, maka diperlukan kebijakan pengolahan yang tepat, khususnya menyangkut fasilitas penyimpanan agar tidak cepat rusak. Pengolahan juga berkaitan dengan akses kepada masyarakat luas. Perkembangan teknologi dewasa ini sangat memungkinkan untuk melakukan pengolahan dengan mudah. Teknologi digital dan penyimpanan (storage) memungkinkan kita untuk mengolah koleksi budaya dan menjadikannya bagian dari bahan pustaka. Pengolahan dapat melibatkan Perpustakaan.

Akses, maksudnya adalah bagaimana masyarakat dapat mengakses koleksi budaya banga dengan mudah. Selama ini pemerintah dan pekerja seni lebih fokus pada pembuatan dan penyimpanan, tapi jarang memikirkan persoalan akses. Jika kita sepakat bahwa hasil budaya adalah cerminan sejarah dan budaya bangsa, bukankah seharusnya juga menjadi milik publik. Jika buku dengan mudah dapat dibeli di toko buku atau diakses di perpustakaan, bukankah hasil budaya juga seharusnya ’mudah’ diakses? Akses ini sangat penting karena sesungguhnya sesuatu yang secara fisik ada, tidaklah berarti kalau tidak dilihat dan diketahui orang lain. Hasil budaya hanya dapat lestari jika masyarakat memang mengetahui makna apa yang terkandung dalam hasil budaya tersebut, dan untuk itu aksesnya harus dipermudah. Akses dapat dilakukan di perpustakaan-perpustakaan yang memang dekat dengan masyarakat luas.

Siapa Yang Harus Melestarikannya?

Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) ataupun seluruh perpustakaan adalah lembaga yang memiliki kewajiban menyimpan seluruh karya cetak dan karya rekam yang ada di negeri ini. Lalu ada lembaga lain, yaitu Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) yang juga mempunyai tanggung jawab menyimpan arsip berbagai bentuk hasil budaya. Walaupun dengan proporsi yang berbeda, ke dua lembaga di atas memiliki tanggung jawab nyata dalam pelestarian aset bangsa ini, namun keterlibatan ini juga menimbulkan ketidakjelasan karena terjadinya duplikasi pekerjaan dan tanggung jawab. Karena itu pemerintah perlu mendukung dengan kebijakan yang tegas, relevan, serta menyediakan dana yang memadai. Kebijakan yang dimaksud adalah menyangkut pembuatan peraturan sesuai dengan kebutuhan di lapangan dan melibatkan masyarakat seni menyusun kebijakan tersebut.

Sedangkan mengenai dana, secara formal pemerintah harus dengan tegas menjadikan pelestarian sejarah dan budaya bangsa sebagai APBN . Disamping itu juga pemerintah perlu melibatkan perusahaan atau para pengusaha untuk memberi kontribusi dalam hal dana. Di sisi lain, pemerintah juga dapat memberdayakan unsur pendidikan melalui sekolah untuk meningkatkan kesadaran mengenai pentingnya pelestarian hasil budaya. Kurikulum di sekolah dapat dirancang sedemikian rupa yang mengarah pada apresiasi para siswa terhadap hasil budaya, misalnya dengan mengadakan acara menonton bersama atau membahas suatu film budaya secara bersama-sama. Kegiatan yang lebih bermanfaat tentu dengan mengadakan kajian-kajian atau penelitian ilmiah tentang semua hasil budaya yang dimiliki Indonesia. Di pihak lain, masyarakat harus terus memberikan masukan positif dan terlibat aktif dalam pelestarian hasil budaya. Banyak kalangan yang dapat berperan dalam hal ini, seperti masyarakat pencinta budaya, wartawan budaya seni, dan kalangan akademik.

Pelestarian Muatan Lokal

Beberapa naskah kuno (manuscript) yang sangat terkenal seperti Negara Kertagama, Sutasoma, Babad Giyanti dan lain sebagainya memiliki nilai historis bangsa yang perlu dilestarikan, dan dikaji isinya sebagai bekal pembangunan dalam membentuk jati diri bangsa dan dapat diwariskan kepada generasi penerus. Selain masalah pemanfaatan pusaka budaya yang tidak maksimal, masalah lain yang muncul adalah keberadaannya yang sulit dilacak. Beberapa naskah asli Indonesia diketahui tersebar di negara-negara lain, seperti Malaysia, Belanda dan lain sebagainya. Begitu banyak muatan lokal (local content) yang ditulis pada naskah-naskah tersebut baik berisi rekaman peristiwa, sejarah, maupun adat istiadat dari berbagai aspek kehidupan manusia di Indonesia. Hal ini diupayakan sebagai langkah penyelamatan aset budaya bangsa agar tidak kehilangan mata rantai perkembangan kebudayaan dari zaman dulu sampai dengan sekarang.

Seiring dengan perkembangan zaman, warisan pusaka budaya bangsa Indonesia dirasa kurang mendapat perhatian dan dukungan baik dari pemerintah maupun para pewaris pusaka budaya itu sendiri sehingga tidak heran jika banyak benda pusaka budaya kondisinya tidak terawat dan tercerai berai di banyak tempat. Kurangnya pemahaman akan arti pusaka budaya serta tidak adanya dana untuk merawat benda-benda pusaka budaya dijadikan alasan untuk melakukan penjualan benda-benda pusaka. Maka tak heran jika peninggalan leluhur itu tercecer di banyak negara. Khusus untuk manuskrip dengan bahan kertas, lontar, bambu dan kulit kayu yang banyak terdapat di tanah air, kondisi fisiknya sangat memprihatinkan dan cenderung bertambah parah jika tidak diselamatkan.

Bukan itu saja, bahkan kasus yang masih segar dalam ingatan kita sangat mencoreng martabat bangsa yaitu diklaimnya warisan budaya dan seni asli milik Indonesia oleh negara lain tanpa negara mampu berbuat apa-apa karena tidak bisa membuktikan bahwa ia adalah hak milik sah bangsa Indonesia. Penyebabnya adalah karena kurang tanggapnya negara (pemerintah) dalam mematenkan karya cipta budaya bangsa dan lemahnya diplomasi kebudayaan di tingkat internasional. Dan akar dari semua itu bersumber dari kurangnya kepedulian dan penghargaan terhadap warisan budaya nasional. Kalau sudah terjadi demikian, barulah pemerintah merasa kebakaran jenggot, kasak-kusuk mematenkan kekayaan intelektual, budaya, dan seni tanpa pernah menyadari dan mau berpikir logis bahwa upaya pelestarian budaya bangsa (budaya nasional) bukanlah sesuatu yang bersifat instan, spontan, dan parsial. Ia adalah sebuah proses panjang dari generasi ke generasi yang melibatkan seluruh komponen masyarakat bukan hanya penguasa atau pemerintah tetapi juga khalayak ramai. Bahkan merupakan kebijakan yang ditetapkan oleh negara dan dikuatkan melalui undang-undang, bukan untuk kepentingan politik.

Sebenarnya Pemerintah sendiri telah memahami arti penting kebudayaan dan peran perpustakaan dalam pelestariannya. Untuk itu pemerintah mengaturnya dalam berbagai produk perundang-undangan yaitu UU. no. 4/1990 tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam dilengkapi dengan PP 70/1991. Pasal 4 ayat © UU 4/1990, menyatakan salah satu tujuan perpustakaan adalah menyediakan wadah bagi pelestarian hasil budaya bangsa, baik berupa karya cetak, maupun karya rekam, melalui program wajib serah simpan karya cetak dan karya rekam sesuai dengan Undang-Undang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam. Melanggar ketentuan ini adalah tindakan pidana yang dapat dihukum penjara atau denda.

Kewajiban serah-simpan karya cetak dan karya rekam yang diatur dalam Undang-undang ini bertujuan untuk mewujudkan koleksi deposit nasional dan melestarikannya sebagai hasil budaya bangsa dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu kebijakan untuk melestarikan budaya nasional mestilah ditanamkan semenjak dini dengan menimbulkan kecintaan dan kebanggaan terhadap budaya milik sendiri baik secara pribadi melalui keluarga dan kelompok masyarakat, maupun secara institusional melalui lembaga-lembaga pemerintah. Padahal sesungguhnya sudah ada institusi di Indonesia yang sangat diandalkan dalam melestarikan warisan budaya yaitu museum dan perpustakaan. Namun sayang selama ini keduanya kurang difungsikan dalam tugas pelestarian warisan budaya.

Secara fungsional institusi perpustakaan (termasuk arsip dan dokumentasi) dan museum memiliki peran yang sama yaitu melestarikan khasanah budaya nasional di seluruh wilayah negara kesatuan Republik Indonesia. Perbedaanya hanya terletak kepada objek yang disimpan, dijaga, dilestarikan, diberdayakan, dan dilayankan . Kalau museum adalah tempat menyimpan benda-benda berharga, sedangkan perpustakaan menyimpan dokumen (arsip dan buku).

Alih Media Digital

Benda-benda warisan budaya baik yang berada di museum maupun yang terserak secara acak di beberapa tempat, semakin lama semakin dimakan usia serta kemungkinan terjadinya kerapuhan, kerusakan, dan kehilangan adalah besar sekali, sedangkan informasi yang terkandung di dalamnya harus senantiasa bisa diakses untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan pembangunan bangsa. Maka koleksi yang ada harus dilestarikan dengan cara mendigitalisasi atau mendokumentasikannya dalam format digital. Bentuk format digital yang dihasilkan meliputi audio, video, gambar atau tulisan. Proses konversi menjadi format digital ini disebut dengan digitalisasi atau alih media digital.

Digitalisasi berasal dari kata digit (angka), karena data atau informasi yang terkandung dalam benda berformat digital ini, menurut sain atau ilmu komputer tersusun dari angka-angka 0 dan 1. Agar data-data tersebut bisa dibaca kembali maka diperlukan alat bantu membukanya yaitu personal komputer (PC) dan komputer jinjing (laptop, notebook, netbook, dsb). Itulah sebabnya maka salah satu syarat untuk mengadakan perpustakaan digital harus memiliki komputer sebagai perangkat pembaca dan data itu sendiri dalam format digital.

Saat ini bahan pustaka tercetak, terekam, mikro, elektronik, peta, lukisan, manuskrip dan sebagainya berpotensi dialihkan ke bentuk digital. Pemanfaatan teknologi informasi dapat mengatasi bahan pustaka tercetak dan terekam dari kerentanan terhadap resiko rusak karena usia, penanganan yang keliru, metode dan ruang penyimpanan yang tidak tepat, vandalisme, dan kelembaban. Alih bentuk melalui tranformasi digital dapat menyelamatkan isi atau informasi yang dikandung bahan pustaka tersebut tanpa menghilangkan atau merubah bentuk aslinya.

Alih media juga membuat diversifikasi bentuk dan layanan bahan pustaka karena kemampuannya dalam menampilkan secara lebih menarik, halaman tak terbatas, portabel, interaktif dan tahan lama. Alih media digital pada saat ini menjadi suatu fenomena baru yang mulai banyak diperhatikan dan dibutuhkan dalam penyebaran informasi maupun pelestarian informasi itu sendiri, sehingga akses informasi menjadi cepat dan efisien.

Alih media digital terutama bahan dokumen tercetak merupakan dasar dalam membangun suatu koleksi digital yang nantinya akan dapat dipergunakan untuk berbagai macam keperluan akses informasi maupun penyebaran informasi. Beberapa keunggulan format digital diantaranya adalah sebagai berikut. Pertama, long distance service, artinya pengguna bisa menikmati layanan sepuasnya, kapanpun dan dimanapun. Kedua, akses yang mudah. Akses lebih mudah karena pengguna tidak perlu mencari di katalog dengan waktu yang lama. Ketiga, murah (cost efective). Mendigitalkan koleksi perpustakaan lebih murah dibandingkan dengan membeli buku. Keempat, mencegah duplikasi dan plagiat. Format digital lebih aman, sehingga tidak akan mudah untuh diplagiat. Bila penyimpanan koleksi perpustakaan menggunakan format PDF, koleksi perpustakaan hanya bisa dibaca oleh pengguna, tanpa bisa mengeditnya. Kelima, publikasi karya secara global. Karya-karya dapat dipublikasikan secara global ke seluruh dunia dengan bantuan internet. Dengan memanfaatkan teknologi alih media atau digitalisasi secara tepat dan cermat kita optimistis bahwa warisana budaya bangsa akan terhindar dari kerusakan, kepunahan, dan dirampas oleh pihak-pihak lain yang tidak bertanggung jawab. Tugas tersebut terletak di tangan seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya pemerintah atau perpustakaan, musium, galeri, sanggar, padepokan, dan sebagainya. Mari kita tumbuhkan kebanggaan memiliki budaya asli sendiri dan semangat menjaga, merawat, dan melestarikannya.

sumber: media seni budaya wayang Indonesia

*** Melestarikan budaya nasional warisan leluhur sebagai wujud jati diri dan watak bangsa Indonesia.






















































1 komentar:

  1. Alhamdulilah,semoga warisan budaya Indonesia,kususnya wayang,akan semakin jaya dan langgeng di masa depan,amin.

    BalasHapus