Selasa, 22 September 2015

Kisah Sang Hyang Tunggal Cerita Wayang

Sanghyang Tunggal (Dewa Pewayangan)


Dewa Khayangan
Sang Hyang Tunggal menikah dengan Dewi Darmani putri Sang Hyang Darmajaka (Darmakaya) raja Khayangan Keling (negeri Selong) yang tidak lain adalah kakak kandung Sang Hyang Wenang sendiri. Lalu Sang Hyang Tunggal dinobatkan menjadi raja di Khayangan Keling menggantikan Sang Hyang Darmajaka. Dari perkawinannya dengan Dewi Darmani, Sang Hyang Tunggal dikaruniai beberapa orang anak dalam wujud 'akyan' (jasad halus) mereka adalah : Sang Hyang Rancasan, Sang Hyang Rudra, Dewa Esa, Sang Hyang Dewanjali, dan Sang Hyang Darmastuti.
Sang Hyang Tunggal yang gemar membaca Serat (kitab) Pustaka Darya yang berwujud suara tanpa sastra (tanpa tulis) itu menjadi tertarik dengan kisah perjalanan Sang Hyang Nurcahya (kakek buyutnya). Ia memutuskan untuk meniru sang kakek buyut, yaitu bertapa untuk mencapai cita-citanya menjadi penguasa di tiga lapisan dunia (Tribuana/Triloka). Kahyangan Keling pun ia serahkan kepada putera sulungnya yaitu Sang Hyang Rudra.
Sang Hyang Tunggal
Sang Hyang Tunggal kemudian bertapa tidur di atas sebuah Batu Datar. Begitu heningnya ia bertapa, ketika terbangun ia telah berada di sebuah istana indah di dasar samudera. Tanpa sadar sebenarnya Sang Hyang Tunggal telah diculik oleh raja siluman kepiting bernama Sang Hyang Rekatama (Sang Hyang Yuyut) untuk dinikahkan dengan putrinya. Putri Sang Hyang Rekatama yang bernama Dewi Wirandi (Dewi Rekatawati) mengaku pernah bertemu dengan Sang Hyang Tunggal di alam mimpi, dan jatuh hati kepadanya. Karena itu adalah jalan untuk mewujudkan cita-citanya, maka Sang Hyang Tunggal menerima lamaran tersebut.
Sang Hyang Tunggal lalu membawa Dewi Wirandi (Dewi Rekatawati) ke istana Jonggring Salaka (Kahyangan Suralaya) di gunung Tengguru (Himalaya) untuk mendapat restu dari ayahnya. Kemudian Sang Hyang Wenang menyerahkan Kahyangan Suralaya kepada Sang Hyang Tunggal. Dan lalu Sang yang Wenang mokswa, tinggal di swargaloka awang-uwung kumitir.
Sang Hyang Tunggal kini bersemayam di Kahyangan Suralaya bersama kedua istrinya, Dewi Darmani dan Dewi Wirandi. Saat itu Kahyangan Suralaya masih belum berpenghuni lain selain mereka bertiga.
Pada suatu ketika, Dewi Wirandi yang hamil besar itu melahirkan, namun yang dilahirkan oleh sang dewi bukanlah sesosok bayi, tapi ia melahirkan sebutir telur.
Sang Hyang Tunggal bermuja semedi mengheningkan cipta masuk ke Swargaloka Awang Uwung Kumitir. Dihadapan Sang Hyang Wenang, ia menceritakan perihal telur yang dilahirkan oleh istrinya.

Dewa Dalam Seni Pewayangan
Sang Hyang Wenang memberi petunjuk dan memberikan air kehidupan “Tirta Kamandanu” kepada Sang Hyang Tunggal.
Sesuai petunjuk ayahnya, telur itu ia puja hingga meretak dan pecah berserakan menjadi tiga bagian, kulit, putih dan merah telur. Sang Hyang Tunggal menyiramkan ‘air kehidupan’ Tirta Kamandanu secara bersamaan kepada bagian telur yang tercerai berai. Secara ajaib, kulit, putih dan merah telur itu berubah menjadi tiga sosok bayi. Sang Hyang Tunggal memberi nama masing-masing bayi yang tercipta, dari kulit telur diberi nama Sang Hyang Antaga, sedangkan bayi yang tercipta dari putih telur diberi nama Sang Hyang Ismaya, dan bayi yang tercipta dari merah telur diberi nama Sang Hyang Manikmaya. Kelak ketiga putra Sang Hyang Tunggal ini akan mempunyai peran penting dalam meramaikan Jagat Pramuditya (wayang).

 

Tribuana (Perebutan Jamus Layang Kalimasada)


Setelahnya Sang Hyang Manikmaya dinobatkan menjadi Raja Tribuana di kahyangan Suralaya, maka Sang Hyang Tunggal dan kedua isterinya yaitu Dewi Darmani dan Dewi Wirandi mokswa menuju swargaloka sunyaruri. Sang Hyang Ismaya dan Sang Hyang Antaga untuk sementara waktu ditugaskan mendampingi Sang Hyang Manikmaya, sebelum mereka nantinya turun ke marcapada.
Sang Hyang Manikmaya bergelar Sang Hyang Jagatnata atau Sang Hyang Otipati (Batara Guru atau Batara Tengguru). Bersama Sang Hyang Ismaya dan Sang Hyang Antaga, ia mulai menata Suralaya, membuat kahyangan-kahyangan baru yang akan diperuntukan bagi persemayaman para dewa yang menjadi keturunannya nanti. Namun walau pun demikian, Sang Hyang Manikmaya mempunyai ganjalan dihatinya, sebab ia telah mendengar bahwa kakak sulungnya yang lain ibu dari Dewi Darmani, yaitu Sang Hyang Rudra / Sang Hyang Dewa Esa / Sang Hyang Rancasan yang menjadi raja di kahyangan Keling (negeri Selong) telah membangun dengan megah kahyangan yang dahulunya telah diwariskan oleh Sang Hyang Tunggal. Bahkan, konon menurut kabar yang ia dengar, Sang Hyang Rudra / Sang Hyang Dewa Esa / Sang Hyang Rancasan mulai dipuja-puja oleh para pengikutnya. Hal ini dianggap Sang Hyang Manikmaya akan merongrong kewibawaannya sebagai Raja Tribuana, maka tersirat dalam benaknya untuk menyingkirkan kekuasaan lain yang menyaingi Suralaya.

Sang Hyang Manikmaya berupaya keras mencari cara untuk dapat menyingkirkan Sang Hyang Rancasan. Harus ada alasan, sebab selain Sang Hyang Rancasan adalah kakak sulungnya walau beda ibu, tapi juga Sang Hyang Rancasan memiliki kesaktian yang luar biasa. Tidak mungkin baginya sendiri dapat mengalahkan Sang Hyang Rancasan, maka tidak ada jalan lain kecuali menghasut kedua saudaranya, yaitu Sang Hyang Ismaya dan Sang Hyang Antaga.
Dihadapan Sang Hyang Ismaya dan Sang Hyang Antaga ia menceritakan kegelisahan hatinya, yaitu keberadaan kahyangan Keling yang telah dianggap akan menandingi kahyangan Suralaya. Sang Hyang Manikmaya juga menghasut kedua saudaranya, bahwa Sang Hyang Rancasan berkeinginan merebut Suralaya dan ingin menjadi raja Tribuana. Selain itu, Hyang Manikmaya bercerita juga tentang sebuah pusaka yang konon dikeramatkan oleh leluhur mereka. Pusaka yang sangat luar biasa, tidak tertandingi oleh pusaka-pusaka lainnya di jagat pramuditya, pusaka Jamuslayang Kalimasada.

Menurut Hyang Manikmaya, Jamuslayang Kalimasada sebenarnya diwariskan secara turun temurun oleh para leluhur mereka, tapi kemudian oleh ayahanda mereka dititipkan kepada putra Hyang Rancasan sebagai puytra yang tersulung sebelum ayahanda mereka melakukan tapa brata dan terdampar di negeri Samudralaya. Menurut Sang Hyang Manikmaya pusaka tersebut bukanlah dianugerahkan atau diwariskan kepada Hyang Rancasan, sifatnya hanya ditipkan untuk sementara waktu.
Awalnya Sang Hyang Ismaya dan Sang Hyang Antaga tidak terpancing oleh pengaduan Sang Hyang Manikmaya, namun karena kecerdikan Sang Hyang Manikmaya dalam menghasut, maka Sang Hyang Ismaya dan Sang Hyang Antaga pada akhirnya berubah pikiran setelah mendengar kisah pusaka Jamuslayang Kalimasada. Mereka lalu sepakat untuk bertandang ke kahyangan Keling (negeri Selong) guna meminta kembali pusaka Kalimasada yang dianggap telah ditipkan ayah mereka kepada kakak sulungnya.
Setibanya di kahyangan Keling, Sang Hyang Ismaya, Sang Hyang Antaga dan Sang Hyang Manikmaya langsung menghadap kakak sulungnya. Sang Hyang Rudra / Sang Hyang Rancasan yang bergelar Sang Hyang Dewa Esa menyambut baik kedatangan ketiga adiknya itu, mereka lalu terlibat pembicaraan.
Dalam percakapan selanjutnya diantara mereka, Sang Hyang Manikmaya meminta pusaka Jamus Layang Kalimasada dengan alasan untuk disemayamkan di Jonggring Salaka sebagai pusaka kadewatan, karena dirinya telah dinobatkan menjadi raja Tribuana di Suralaya. Dengan halus Sang Hyang Rancasan menolak, ia menganggap pusaka itu adalah amanat leluhur yang harus ia jaga & dipertanggung jawabkan amanatnya. Sang Hyang Manikmaya menuduh sulungnya telah melawan keputusan ayahanda mereka yang telah menobatkan dirinya sebagai raja Tribuana. Perbincangan berganti dengan perdebatan, dan akhirnya Sang Hyang Manikmaya menantang Sang Hyang Rancasan untuk mengadu kesaktian. Perang tanding pun tidak terelakan lagi diantara mereka.

Bumi gonjang-ganjing, marcapada kembali diguncang oleh nafsu angkara murka putra-putra Sang Hyang Tunggal. Gunung-gunung menggelegar mengeluarkan laharnya, bukit-bukit longsor bermuragan. Perang tanding terjadi antara Hyang Manikmaya dengan Hyang Rancasan. Keduanya saling mengadu kedigjayaan dan saling memamerkan aji-aji kesaktian. Namun dalam perang tanding itu, terlihat Sang Hyang Rancasan lebih unggul dibandingkan Sang Hyang Manikmaya. Beberapa kesaktian dan pusaka-pusaka kadewatan milik Manikmaya tidak mampu menghadapi kesaktian dan kedigjayaan Sang Hyang Rancasan. Saat Sang Hyang Manikmaya bertiwikrama menjadi berhala sewu, Hyang Rancasan tidak kalah hebat, ia bertiwikrama lebih besar dari raksasa jelmaan Hyang Manikmaya. Begitu seterusnya, setiap Manikmaya masuk ke dalam perut bumi, Hyang Rancasan ada dibelakangnya. Dan setiap Manikmaya berdirgantara di angkasa, Rancasan pun selalu ada di belakangnya. Manikmaya keteteran menghadapi kesaktian Hyang Rancasan, maka Sang Hyang Antaga dan Sang Hyang Ismaya segera terjun ke palagan yuda demi membantu Manikmaya, keduanya langsung menerjang Sang Hyang Rancasan. Mereka menyerang secara serempak dari segala penjuru, ada yang menyerang dari arah depan saling berhadapan, ada yang menyerang dari belakang, dari angkasa dan dari bawah bumi.

Perang kejayaan diantara mereka menggemparkan marcapada. Terjadi hujan badai, angin prahara, halilintar dan kobaran api yang disebabkan oleh kekuatan-kekuatan gaib mereka hingga menghancurkan kahyangan Keling dan meluluh lantakan bumi Selong. Dan hingga pada akhirnya, Sang Hyang Rancasan palastra ditangan saudara-saudaranya. Tubuhnya terbelah menjadi dua oleh sebab terjadi saling tarik menarik diantara Sang Hyang Ismaya, Sang Hyang Rancasan dan Sang Hyang Antaga. Namun sesaat setelah kematian Sang Hyang Rancasan, di atas angkasa terdengar suara tanpa rupa yang tidak lain adalah ‘ruh’ dari Sang Hyang Rancasan yang tidak menerima perlakuan saudara-saudaranya. Ia mengancam, kelak disuatu hari akan menuntut balas atas perbuatan mereka. Ia akan selalu membayang-bayangi kekuasan Manikmaya dan akan selalu mengikuti langkah Ismaya juga Antaga di marcapada. Ketiganya tertegun mendengar ancaman dari ruh Hyang Rancasan. Kesadaran dan penyesalan selalu berada diakhir kisah setelah semuanya terjadi, terlebih lagi perbuatan mereka telah mengusik ketenangan Sang Hyang Tunggal di swargaloka sunyaruri. Sang Hyang Tunggal dalam wujud suara tanpa rupa mengutuk perbuatan Manikmaya yang telah menghasut kedua saudaranya hingga membunuh kakak sulung mereka. Kelak Hyang Manikmaya akan menerima karmanya, yaitu kakinya akan menjadi kecil sebelah dan lemah, maka dengan begitu ia akan mendapat julukan sebagai Sang Hyang Lengin. Giginya akan bertaring sebesar buah randu dan dinamakan Sang Hyang Randuana. Tangannya akan bertambah menjadi empat dan akan mendapat nama Syiwa, dan yang terakhir dalam perjalanannya nanti tubuhnya akan terbakar oleh racun ganas sehingga menjadi biru, maka namanya pun bertambah menjadi Sang Hyang Nilakanta.
Sang Hyang Manikmaya tidak bisa berbuat apa-apa selain hanya pasrah menerima kutukan dari ayandanya, begitu juga dengan Sang Hyang Ismaya dan Antaga. Perihal pusaka yang diperebutkan itu kini telah diambil kembali oleh Sang Hyang Tunggal dan pada saatnya nanti pusaka itu akan diwariskan kepada para kesatria marcapada yang sanggup mengembannya, Jamus Layang Kalimasada.

sumber: media seni budaya wayang Indonesia 

motto
*** Warisan budaya nasional atau warisan budaya daerah adalah cermin tingginya peradaban bangsa.

*** Melestarikan budaya nasional warisan leluhur sebagai wujud jati diri dan watak bangsa Indonesia

gendhing jawa













Senin, 21 September 2015

Asal Muasal Cerita Wayang

BERMULA DARI NABI ADAM DAN SITI HAWA
" Purwaning cariyos hawewaton : KANDHA BUDA PURWAKA, KANDHA marang
caritane, BUDA marang asale, PURWAKA marang kawitane. Pramila samangkya sami
amastani perang budi kang tetela karya tilasing tabet ingkang awujud gambar rineka jalma inggih winastan wayang".
Wayang minangka pralampita wewayanganing agesang sarta gegambaraning pakarti sae lan pakarti awon. Wayang kawine ringgit, tegesipun karipta miring sarana den anggit. Sayekti anggitipun para pujangga linangkung duk ing uni Gumelaring jagad raya yekti wonten jaman ageng tigang prekawis, inggih punika: 
Satunggal : Jaman Tirtayoga, Kalih : Jaman Dwapara, Tiga : Jaman Sengara
Bagi sementara orang, tidaklah banyak yang mengetahui akan silsilah cerita  wayang (Jawa) bermula. Bahkan bagi penggemar wayangpun hanya sedikit yang mengetahui ataupun hanya sekilas mengenal, bahwa asal mula kisah wayang juga turun dari Nabi Adam dan Siti Hawa. Tetapi secara detail, sangat sedikit sekali orang yang betah menyelusuri hingga mentok kemana sebetulnya cerita silsilah wayang bermula. Orang lebih banyak mengetahui cerita Jaman para Pandawa-Kurawa (Mahabarata) serta Jaman Ramawijaya (Ramayana).

Bahkan karena majunya teknologi, cerita Mahabaratapun mungkin saja orang banyak atau generasi masa sekarang lebih mengenal cerita Mahabarata dari film yang berasal dari India, yang tentunya banyak berbeda dari silsilah wayang Jawa. Penetrasi teknologi telah menembus dan mengkoyak tata silsilah yang pada jamannya telah dibumikan ceritanya oleh para empu pedhalangan Jawa supaya lebih kena terhadap budaya setempat dan sesuai dengan kearifan lokal.
Silsilah wayang Jawa perlu diketahui, tidak memisahkan antara Mahabarata dan Ramayana seperti halnya yang terjadi asalnya. Kedua cerita yang berbeda kitab dan berbeda penulis, oleh empu Jawa telah diaduk dalam satu menu cerita wayang.
Dengan maksud agar alur silsilah adaptasi dari mpu Jawa terutama versi dari tlatah Banyumas, akan kami gali kembali silsilah asal mula tokoh wayang Mahabarata dan Ramayana, sebagaimana tulisan cerita ini dimuat yang lebih berat pada wayang mBanyumasan.
Seperti diceritakan diatas, bahwa wayang Jawa mBanyumasan (kedepan akan saya singkat saja dengan wayang) berasal dari Jaman Nabi Adam. Hal ini dimungkinkan karena secara tatanan, orang Jawa lebih dekat dengan tradisi keberagamaan pada masa wayang berkembang, dalam hal ini Islam, dibanding dengan kejadian asal usul semesta yang diungkapkan oleh Charles Darwin. Dengan kata lain, Adam dan Khawa lebih dipercaya sebagai asal mula manusia dibanding dengan teori evolusi, yang menyebutkan bahwa asal usul seluruh penghuni semesta termasuk manusia, berevolusi bentuk dari yang paling primitive, kemudian berubah dan memecah secara perlahan menjadi klan dan species yang baru selama kurun 15 milyar tahun lalu hingga kini. Bahkan para Dewa dalam agama Hindupun dalam silsilah ini menjadi sub system silsilah setelah Nabi Adam.

Baik Kita mulai cerita ini, yang kami sajikan dalam bahasa Indonesia agar lebih dimengerti oleh Masyarakat luas. Terpikir, bahwa dengan mengenal, selanjutnya ada peluang untuk menjadi mencintai.
Ketika Jaman itu bernama Jaman Tirtayoga. Yang berarti jagad yang tergelar masih kosong didasari mahluk yang bernama manusia. Disana hanya terdapat empat warna yaitu, : SURYA, CANDRA, KARTIKA lan BAWANA. Disitulah Nabi Adam dan Siti Hawa diturunkan ke bumi dengan kesalahannya karena memakan buah kuldi.
Maka mulailah beliau beranak pianak. Setiap Siti Hawa melahirkan, bayi dalam keadaan kembar atau berarti setiap kali mengandung beliau melahirkan dua bayi lelaki dan wanita. Kelahiran pertama, anak lelaki tampan sedangkan yang perempuan juga cantik. Lahir yang kedua, yang lelaki dan wanitanya keduanya buruk rupa. Demikianlah secara selang seling Nabi Adam dan Siti Khawa melahirkan pasangan demi pasangan, tampan dan buruk berganti ganti.
Setelah anak Adam dan Siti Hawa semua dewasa, maka kehendak Adam adalah mengawinkan anak anak mereka scara berselingan. Artinya yang tampan dijodohkan dengan yang buruk, dan yang buruk dijodohkan dengan yang cantik. Tetapi kemauan Nabi Adam ditolak oleh istrinya, yang buruk akan dijodohkan dengan yang buruk juga.

Demikianlah mereka berdua dalam menjalani kehidupan dibumi. Tetapi rencana yang berubah karena pertentangan itupun diatasi dengan sayembara.
Kama Adam dan indung telur dikeluarkan oleh keduanya, dan masing masing ditempatkan dalam dua buah cawan. Selanjutnya mereka bersemedi memohon keadilan. Cawan siapakah yang akan berubah isinya menjadi bayi, maka manusia itulah yang harus menjadi panutan. Dialah pertanda manusia yang yang sempurna dan di ijinkan oleh Dzat Yang Maha Sempurna. Setelah mendapatkan wangsit dari penguasa alam semesta, keduanya mengakhiri semedi. Kejadiannya selanjutnya adalah:
Kama Adam berubah menjadi seorang bayi, sedangkan indung telur Khawa berubah menjadi darah. Bayi lelaki dinamakan Sis dan mendapatkan wahyu kenabian. Kehendak Yang Maha Agung, karena Sis mendapat wahyu kenabian, maka disebut Nabi Sis.
Putra putri nabi Adam yang terdahulu yang hidupnya menentang orang tuanya dalam masalah jodoh, pergi jauh ke Negeri China. Mereka menyembah berhala. Ada lagi yang bernama Kabil, berebut jodoh hingga tega membunuh saudaranya, Habil. Kabil terkena kutuk terjepit bumi dan menjadi kerak neraka
Diceritakan, Nabi Sis, satu-satunya keturunan Adam yang tidak lahir berpasangan, mendapatkan isteri seorang bidadari, yang bernama Dewi Mulat. Suami istri ini mendapatkan dua orang putra bernama Sayid Anwas dan Sayid Anwar.
Turun dari Sayid Anwas adalah para nabi dan para raja, diantaranya Nabi Idris, Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Isma’il, Sultan Keenan, Sultan Barat, Sultan Munta Wasal dan lainnya. Sedangkan Sayid Anwar, inilah sosok yang mengawali pemisahan antara para nabi dengan turun tokoh wayang.

Sayid Anwar adalah sosok yang sangat menggemari tapa atau olah kerohanian. Cita-cita yang sangat tinggi menjadikannya orang yang terkemuka di dunia. Tidaklah ada orang lain yang sanggup mengungguli kesaktiannya. Semua kemauannya haruslah terlaksana. Didukung semua kemauannya oleh Tuhannya. Ia bahkan ingin hidup abadi. Untuk itu, Sayid Anwar pergi dari negaranya dan ketika itulah ia diikuti oleh iblis yang bernama Ijajil. Iblis Ijajil ingin agar Sayid Anwar mendapat celaka.
Ketika itu Sayid Anwar ada ditepi sungai Nil, dan iblis Ijajil yang tidak kasat mata bersuara mengaku sebagai Sang Maha Esa. Ia  menyuruh Sayid Anwar terus berjalan menuju mata air Nil. Sayid Anwarpun menurut apa yang diperintahkan Ijajil yang mengaku sebagai Tuhannya.
Setelah sampai di mata air Sungai Nil, Iblis Ijajil berkata: “ Anwar, dengarkan kata kataku. Lihatlah  ke puncak gunung itu. Lihatlah dan naiklah engkau. Bila sudah mencapai puncak, disitu ada cahaya berbinar tergantung tanpa cantelan. Masuklah engkau kedalam cahaya itu!!”

" untuk lanjutan cerita tersebut klik asal usul wayang (dewa)"

sumber: media seni budaya wayang Indonesia


gending jawa