Kamis, 06 Februari 2020

Melestarikan Seni Budaya Wayang Indonesia

Filosofi Wayang


Wayang, yang diartikan sebagai bayang, mengandung 2 makna yang tersirat, yaitu (1) bayangan yang ditonton (dari belakang layar), menggambarkan bahwa setiap perilaku manusia, baik atau buruk, dapat dilihat dan dinilai oleh orang lain tanpa memandang fisik, jabatan atau kekayaannya dan (2) bentuk fisik wayang, yang menggambarkan sifat dan perilaku setiap tokoh wayang tersebut. Filsafat dunia wayang dijabarkan dalam 3 macam cara yaitu : sosok (bentuk), karakter/sifat, dan ucapan/pandangan/ajarannya.

Setiap cerita dan percakapan dalam pertunjukan wayang mengandung pelajaran hidup dan wejangan (nasehat) yang bagus. Demikian pula karakter masing-masing wayang juga menunjukkan bahwa sifat manusia bermacam-macam, sebab akibat dari perilaku tokoh wayang dalam setiap cerita dapat menjadi inspirasi dan pelajaran hidup bagi para penontonnya.

Muka wayang ada yang berwarna merah, hitam, dan putih. Warna merah menunjukkan seorang yang memiliki sifat tegas dan keras serta menjadi panutan bagi bawahannya. Warna hitam menggambarkan seorang satria yang memiliki kemantapan diri sebagai panutan, sedangkan warna putih menggambarkan sifat kedewataan (bersih, bijaksana) atau sebaliknya perangai yang tak konsisten. Selain muka wayang, ciri fisik lain seperti lengan wayang juga mengandung makna. Ada wayang yang lengan atau tangannya dua, ada yang tangannya dua, tapi yang satu dimasukkan ke saku (raksasa), dan lain-lain.

Pertunjukan wayang selalu dilengkapi dengan layar yang disorot lampu (menggambarkan matahari), dan tokoh wayangnya berdiri menancap di gedebok pisang (sebagai bumi). Tokoh wayang digerakkan oleh dalang, yang juga menyampaikan cerita dan percakapan antar tokoh wayang tersebut.

Gunungan Wayang

Bentuk Gunungan 

Atau disebut juga kayon, selalu muncul dalam pertunjukan wayang. Gunungan ini memiliki banyak fungsi, yaitu sebagai tanda dimulai/berakhirnya pertunjukan wayang, tanda pergantian adegan/tempat, untuk menggambarkan suasana cerita (sedih, gembira), atau keadaan tanpa tokoh wayang, atau untuk menggambarkan 3 unsur : air, api, atau angin.

Macam Gunungan 

Gunungan atau kayon ada 2 macam, yaitu Kayon Gapuran dan Kayon Blumbangan. Kayon Gapuran bentuknya ramping dan lebih tinggi dari Kayon Blumbangan. Di bagian bawahnya berlukiskan gapura, dan disamping kanan-kirinya dijaga dua raksasa kembar Cingkarabala dan Balaupata. Bagian belakangnya berlukiskan api merah membara. Kayon blumbangan yang lebih pendek, bagian bawahnya berlukiskan kolam dengan air yang jeernih. Ada gambar ikan berhadap-hadapan di tengah kolam. Bagian belakang berlukiskan api berkobar merah membara.

Pada setiap gunungan yang melambangkan dunia seisinya, ada gambar rumah gedong atau balai yang indah dengan lantai bertingkat tiga. Dua naga kembar bersayap dengan dua ekornya habis pada ujung gunungan. Ada juga gambar hutan belantara yang subur, gambar macan berhadapan dengan banteng, atau gambar pohon besar yang tinggi dibelit ular besar. Dua ekor kera dan lutung sedang bermain di atas pohon. Dua ekor ayam hutan sedang bertengkar di atas pohon.

Sebelum pagelaran wayang dimulai, gunungan biasanya diletakkan di tengah layar. Gunungan ini bisa diartikan sebagai lambang Pancer, yaitu jiwa atau sukma. Bentuknya yang segitiga mengandung arti bahwa manusia terdiri dari unsur cipta, rasa, dan karsa. Sedangkan lambang gambar segi empat melambangkan 4 unsur antara lain bumi, air, api, tanah, dan udara.

Lukisan hewan yang terdapat di dalam gunungan mengandung makna masing-masing:

1. Harimau: lambang roh, anasir api dengan sifat kekuatan nafsu amarah

2. Banteng: lambang roh, anasir tanah, dengan sifat nafsu aluamah,

3. Naga: lambang roh, anasir air, dengan sifat kekuatan nafsu sufiah,

4. Burung Garuda: lambang roh, anasir udara dengan sifat kekuatan nafsu muthmainah.

Ketika pagelaran wayang kulit akan dimulai, dalang menarik gunungan ke bawah, yang bermakna sebagai penjelmaan zat yang pertama (gasang tumitis). Berhenti tiga kali sebagai lambang dari adanya tiga tataran pembukaan tata mahligai : di kepala (cipta), di dada (rasa), dan di bagian bawah perut (karsa).

Tokoh Brahala (raksasa)

Pada wayang kulit, tokoh brahala digambarkan dalam bentuk wayang raksasa, paling besar diantara wayang yang lain. Pada deretan wayang (janturan), brahala dipasang paling belakang, di sebelah kiri dan kanan tokoh wayang lainnya. Tokoh wayang ini merupakan bentuk jelmaan dari tokoh-tokoh yang dianggap suci dan dikeluarkan saat sang tokoh sedang triwikrama (beralih rupa) karena amarah yang memuncak.

Brahala, atau Brahalasewu, bentuknya ekstrem dan mengerikan. Digambarkan sebagai raksasa sebesar gunung, berambut gimbal atau jabrik seperti api, berkepala banyak, bertangan banyak dengan masing-masing memegang senjata. Tokoh yang dapat beralih rupa menjadi Brahala antara lain : Batara Wisnu, Batara Guru, Batara Ismaya, Prabu Kresna, Prabu Arjuna, atau Prabu Darmakusuma. Misalnya, Prabu Arjuna Sasrabahu bertriwikrama menjadi Brahala sewaktu berperang dengan Dasamuka dan berhadapan dengan Bambang Sumantri.

Tokoh Punakawan Wayang Kulit


Punakawan atau Panakawan artinya abdi setia. Para tokoh punakawan mempunyai peran sebagai abdi atau pembantu tokoh-tokoh utama pewayangan. Tokoh punakawan ini dalam cerita asli Ramayana maupun Mahabarata (versi India maupun Srilanka) tidak dikenal. Cerita yang berkaitan dengan tokoh-tokoh ini merupakan hasil kreatifitas para pujangga dan dalang Indonesia. Oleh karena itu, sifat dan perilaku para tokoh punakawan ini pun sangat mencerminkan budaya Indonesia.

Tokoh punakawan versi wayang kulit Jawa Tengah dan Jawa Timur : Semar Badranaya, Petruk, Gareng, dan Bagong. Untuk beberapa daerah lain, ada sedikit perbedaan. Misalnya di wayang golek Sunda, tidak dikenal Bagong dan Petruk, melainkan Cepot dan Dawala (Dewala). Petruk dalam wayang kulit Jawa Tengah adalah Dewala dalam Wayang Golek Sunda 

Sedangkan Cepot, sebagai pengganti Bagong, memiliki ciri fisik yang sedikit berbeda. Selain itu, kalau Bagong adalah anak bungsu Semar, Cepot merupakan anak sulung Semar dalam cerita wayang golek Jawa Barat. Di daerah Cirebon, tokoh Bagong dikenal dengan nama Lamsijan. Di daerah Banyumas, dikenal dengan nama Bawor.

Meskipun di beberapa daerah memiliki nama dan ciri fisik yang agak berbeda, namun cerita tokoh punakawan pada dasarnya sama, yaitu mempunyai peran sebagai abdi/pelayan tokoh utama. Tokoh punakawan juga menggambarkan sebagai rakyat jelata diantara para kesatria dan raja-raja. Selain itu, penampilan tokoh punakawan juga mempunyai fungsi untuk menghibur dan menjadi penghubung komunikasi antara dalang dan penonton.

Demikian cerita dunia wayang, semoga menjadi hiburan bagi masyarakat para pecinta penyuka seni budaya yang merupakan warisan leluhur ini, sekaligus untuk ajang mempererat tali silaturahmi dan media informasi, dan tentunya yang tidak kalah penting pula adalah upaya melestarikan sebagai aset budaya bangsa.

Sumber: cerita seni budaya pewayangan Indonesia

motto
- Warisan budaya nasional atau warisan budaya daerah adalah cermin tingginya peradaban bangsa.
- Melestarikan budaya nasional warisan leluhur sebagai wujud jati diri dan watak bangsa Indonesia