Sayidina Anwar yang melihat cahaya yang gemilang bagaikan sinar rembulan purnama timbul yang menggantung bebas itu begitu terpesona. Ia sangat terkagum dan segera menaiki gunung tersebut. Bagaikan tersihir ia masuk kedalam binarnya sinar yang membuat ia takjub. Sayid Anwar yang melihat cahaya yang gemilang bagaikan sinar rembulan purnama timbul yang menggantung bebas itu begitu terpesona. Ia sangat terkagum dan segera menaiki gunung tersebut. Bagaikan tersihir ia masuk kedalam binarnya sinar yang membuat ia takjub.
Begitu terkesima Sayid Anwar yang melihat
segalanya merah membara, seakan hanya lamat lamat saja ketika Iblis Ijajil
berbicara, “Anwar, sejatinya aku adalah yang menitahkan segenap semesta.
Inilah yang bernama Retnadumilah. Inilah kahyanganku. Siapa yang menempatkan
dirinya disitu, sejatinya ia tak akan tersentuh oleh kematian. Ketahuilah,
Retnadumilah adalah gambaran dari Swargaloka”.
Demikian kata Iblis Ijajil yang tak lama
kemudian menyambungnya, “Selanjutnya perlu kau ketahui, aku akan menggelar
jagad Retnadumilah ke Gunung Tengguru di Negara Benggala. Sekarang teruskanlah
tujuanmu kearah timur, bila kamu sudah mencapapai kawasan Dewani, lakukanlah
tapa didalam gua ditengah hutan itu. Dengan cara itu, kamu akan menjadi raja
hingga turunmu. Semua makluk akan tunduk takluk dan menurut perintahmu serta
percaya kepadaku. Bila kamu sudah paripurna dalam menjalani kehidupan
dialam dunia, masuklah kamu kedalam surga itu selama lamanya”.
Sebenarnya saat itu Sayid Anwar
berkeberatan meninggalkan sorga setelah mendengar perintah dari iblis Ijajil.
Tetapi karena takut akan perintah yang ia dengar, keluarlah Sayid Anwar dari
sorga Retnadumilah, dan turunlah ia dari puncak bukit itu, menuju ke arah
timur.
Sayid Anwar terus berjalan dan pada suatu
saat ia masuk kedalam hutan dalam kawasan Dewani. Segera ia mencari sebuah gua
untuk bertapa.
Kita tinggalkan Sayid Anwar yang sedang
mesu budi, mari kita tengok apa yang terjadi di suatu Negara di kawasan Dewani.
Disitu terdapat kerajaan yang diperintah oleh mahluk keturunan jin yang bernama
Prabu Nurradi. Ia mempunyai seorang putri tunggal yang bernama Dewi Nurrini.
Demikian cantik putri Prabu Nurradi itu, tetapi pada saat terakhir ia terlihat
murung. Maka ketika melihat gelagat yang tidak sewajarnya yang mengungkung sang
putri tunggal, Prabu Nurradi memanggil putrinya.
Dewi Nurrini telah duduk bersimpuh didepan
ayah dan ibundanya dengan muka tunduk. Terbayang akan pertanyaan yang akan
didengarnya, pasti akan tidak jauh dari tindak tanduknya pada hari-hari
terakhir ini. Sadar Dewi Nurrini, bahwa pada suatu saat ia akan dipanggil
menghadap ayahndanya. Angan itu muncul ketika sudah berapa lama ia duduk
menghadap, tetapi belum terucap sepatah kata dari ayahandanya.
Prabu Nurradi menghela napas panjang,
ketika angannya berbarengan dengan angan sang putri telah buyar dan melihat
bahwa putrinya telah lama menunggu segala titah ayahandanya.
“Putriku Nurrini, segala kekayaan wilayah
Dewani yang terdapat diangkasa, lautan daratan bahkan pelikan yang ada dalam
kandungan bumi Dewani ini, akan menjadi harta warismu. Kamu tahu itu, karena
kamu adalah putri tunggalku. Kamu tahu bahwa aku ini suatu saat akan
mengundurkan diri sebagai penguasa Dewani dan semua kekayaan Dewani akan
menjadi milikmu, Nurrani. Tidak ada yang harus dikuwatirkan akan masa depanmu,
yang pastinya selain didudukung oleh semua rakyat bawahanku, juga kekayaan
Dewani in bisa diibaratkan pasir samudra, walau ditambang kapanpun siang dan
malam, tidak akan ada habisnya. Bila itu yang menjadi kekhawatiran akan masa depanmu, tidak baik
bila semua yang terkandung dalam hatimu yang berwujud kegalauan terhadap yang
akan terjadi, tidak baik tetap ada dalam kandungan sanubarimu, lebih baik
katakan sejujujurnya apa yang kau maksud”. Panjang sang Prabu Nurradi
berusaha menenangkan hati putri semata wayang. Tapi satu hal ia nafikkan, bahwa
kini Dewi Nurrini telah berangkat dewasa.
“Ayahnda, bermula orang
mimpi itu sejak kapan?” Kaget Prabu Nurradi mendengar jawab putrinya yang jauh
melenceng dari pernyataannya tadi.
“Pertanyaan kamu itu aneh.
Impian itu terjadi sejak makluk hidup itu berada. Bila kamu menanyakan kapan
mimpi itu bermula, itu sama halnya dengan pertanyaan, kapan sebenarnya mimpi
itu berakhir”.
“Ayah, pertanyaan itu
seharunya hanya wajib dijawab”. Kembali
Prabu Nurradi terperangan dengan jawaban putrinya lagi.
“Betul, tapi pertanyaan
itu tidak bisa aku jawab. Bahkan bila kamu menelusuri kejadian mula buka hidup
di jagad raya dan menemukan siapa penciptanya, kamu bakal lebur terlebih dahulu
tanpa bisa mendapatkan jawabannya”.
“Tapi apa sebabnya kamu
menanyakan hal itu? Apakah kamu baru mendapatkan pelajaran dari ibumu?” Kembali Prabu Nurradi
bertanya memancing.
“Bukan ayah, tetapi
apakah bila hamba mengungkapkan apa yang menjadi pertanyaan hamba tidak akan
dipermalukan”. Kembali Dewi Nurrini menjawab.
“Tidak akan . . . .
Katakanlah apa yang menjadi sebab dari kegalauan hatimu.
Maka mulailah Dewi
Nurrini menceritakan mula buka tingkah lakunya menjadi lain saat kejadian yang
ia ceritakan mimpinya, “Begini ayah, sekitar tujuh hari yang lalu . .
. . . . disuatu malam Selasa Kliwon, hamba tidak bisa memicingkan mata walau
tengah malam telah berlalu. Hamba akhirnya keluar dari kamar dan berjalan
menuju taman sari dan duduk menyendiri. Sekian lama hamba melamun hingga
akhirnya hamba duduk disebuah pokok pohon. Tetapi saat itulah hamba merasa mata tidak dapat
ditahan, hamba tertidur”.
“Lalu?” Prabu Nurradi mengejarnya dengan pertanyaan, ia
sangat penasaran dengan yang barusan ia dengar
“Hamba bermimpi . . . . .”
“Ooohh itukah yang membuat
hatimu galau dan ragamu menjadi kusut. Terus ceritakan apa mimpimu itu”.
“Dalam mimpi menjelang pagi itu, hamba
melihat sinar terang ujud ndaru yang cahayanya sangat cemerlang”.
“Mimpi melihat “ndaru”
itu pertanda baik. Itu
sama seperti halnya orang bermimpi kejatuhan bulan. Bila orang biasa bermimpi
seperti itu, pertanda bahwa ia akan mendapatkan rejeki. Tapi bila mimpi itu
terjadi pada seorang raja, artinya ia sudah dekat kepada puncak kejayaannya”.
“Tapi “ndaru” yang terlihat melayang
sebesar sinar obor itu tidak menyilaukan mata. Tetapi lagi ayah, ndaru yang
hamba lihat itu yang kemudian hamba ikuti, ternyata mempunyai tangan” .
Sekali lagi Prabu Nurradi
terhenyak. Setelah diam sejenak mengamati istrinya yang diam disisinya, ia
melanjutkan, “Lho, selama ini yang aku lihat dan aku mengerti, bahwa ndaru
itu tidak mempunyai tangan. Heh Rakyan Patih Amir, mendekatlah kemari”. Prabu
Nurradi memanggih Rekyan Patih Amir yang sedari tadi duduk agak jauh dari
pembicaraan keluarga itu.
Patih amir mendekat. Beringsut ia menyembah
dan meminta keterangan terhadap pembicaraan yang telah terjadi. Lalu Prabu
Nurradi menceritakan tentang ndaru bertangan itu, “Apakah yang
dikatakan putriku itu benar adanya? Menurutmu ndaru itu sebenarnya seperti
apa?”
“Gusti, menurut hamba, yang bernama ndaru
itu wujud benda angkasa yang bersinar tapi tidak menyilaukan, berwana agak
kehijauan. Itu yang hamba tahu”.
“Tapi apakah ada ndaru yang mempunyai
tangan”.
“Selama hamba dititahkan, sudah banyak
tempat yang pernah hamba jelajahi sewaktu semangat muda masih menggelora. Hamba
tidak pernah menemukan atau melihat ujud ndaru yang mempunyai tangan seperti
disebutkan oleh tuan putri”.
“Wah, hmmm . . . . . Aneh. Itu hal yang
aneh!! Patih Amir adalah jin yang sedemikian sakti dan telah beribu tahun
melanglang jagat raya ini, diumpamakan seluruh permukaan bumi telah
dijelajahinya. Tapi tak sekalipun ia pernah melihat penampakan benda langit
berujud ndaru dan mempunyai tangan”.
“Ayah, tangan itu melambai kearah hamba . .
. “ Dewi Nurrani
kembali membuat sensasi.
“Aneh lagi. Apakah ndaru
masa kini mempunyai tangan”. Geleng gelang kepala Prabu Nurradi mendengar kembali
keanehan yang diceritakan putrinya. Tapi ia tidak percaya dalam hati.
Dan ayah, hamba juga mau
datang kearahnya. Ndaru itu hamba tangkap. Keanehan terjadi, benda itu makin
menyusut dalam genggaman hamba, sampai kemudian benda itu berubah menjadi sosok
manusia yang sangat tampan. Ayah . . . . hamba minta ayah mencarikan sosok manusia dalam impian
hamba itu. Di akhir cerita
itu Sang Prabu telah mengambil kesimpulan. Tapi itulah yang menjadikannya
sangat masgul. Persoalan negara Dewani pada saat ini tidak menguntungkan.
Segala sudut negara telah dilanda pageblug, dilanda wabah penyakit yang sudah
menewaskan banyak nyawa rakyatnya. Diumpamakan penyakit yang melanda negara
telah menerjang kemapanan kehidupan rakyat. Siapa yang terkena penyakit aneh
itu pagi hari, sorenya dipastikan telah tidak bernyawa. Sebaliknya pun
demikian, bila sore terpapar, paginya ia sudah tewas. Maka merasa lemaslah
seluruh jiwa Sang Prabu. Ia tertegun memikirkan beban dirinya yang belum lagi
dapat dientaskan, telah timbul lagi masalah baru, masalah terhadap keluarganya.
Ia tidak bisa lari dari tanggung jawab seorang ayah terhadap putri tercintanya walau
disaat yang sama ia dalam kungkungan beban negara yang teramat berat.
Setelah berdiam diri sekian lama, bagai
bergumam ia berkata, “Beginilah kejadiannya mempunyai anak perempuan yang
telah dewasa. Aku tidak memperhatikan pertumbuhan anakku yang dari kemarin
masih aku lihat seperti kanak-kanak, tetapi tiba tiba aku perhatikan, ternyata
anakku telah mulai saat kedewasaannya.
Dipandangi istrinya yang masih saja tunduk,
kemudian sang istri mengangkat wajahnya dengan sorot mata mengandung
pertanyaan. Bila dilahirkan pertanyaan itu, pastilah ia menanyakan,
“bagaimana tindakan paduka atas kejadian yang menimpa putri kita? Paduka yang
selama ini telah dengan sentosa mengayomi keluarga, pastilah paduka dapat juga
memberikan kebahagiaan bagi keluarga terutama anak perempuan kesayangan kita
seorang”.
Tapi yang terdengan oleh sang Permaisuri
adalah kalimat yang tak diduga, “Istriku, apakah dulu ketika kamu hendak
aku sunting, juga mimpi melihat ndaru atau kejatuhan rembulan?”
“Duh sinuwun, hamba tidak mengalami hal
yang demikian”.
“Jadi?”
“Hamba hanya menurut kepada orang tua.
Kemauan orang tua wajib diturut menurut hamba. Apalagi ketika hamba melihat
sosok paduka waktu itu, hamba sudah mempunyai firasat, bahwa sosok inilah yang
akan mampu melindungi hamba dari saat itu higga akhir jaman”.
“Jadi tidak bermula dari
mimpi?” Sang Prabu Nurradi kembali bertanya menandaskan.
“Tidak sinuwun.”
“Serba salah mengalami
permintaan putriku ini. Tapi
persoalan ini harus dituntaskan. Inilah yang menjadikan persoalan baru bagi negara
yang sedang dalam bencana penyakit. Beratnya kita menghalau bencana penyakit
yang sedang melanda negara Dewani, persoalan baru telah timbul. Bagaimana
pendapatmu Patih?”
“Duh sinuwun, inilah sebenarnya titik
terang yang akan menjadikan titik balik kekalutan negara Dewani.”
“Apa sebab kamu
mengatakan demikian Patih?”
“Di tlatah Dewani telah
hamba rasakan ada sesuatu yang tidak wajar atas perbuatan sosok yang berujud
manusia. Menurut hamba inilah pokok persoalan yang akan menjadikan kedua
persoalan yang mengungkung Paduka sendiri dan Negara Dewani akan tersingkap.
Hamba bersedia menjadi lantaran bagi kembalinya kejayaan Dewani, Sinuwun.”
Prabu Nurradi tersenyum
puas. Andalan negara Patih Amir adalah seorang sakti yang tidak lagi diragukan
kesetiannya, setengah memuji Patih Amir, ia memerintahkan agar Sang Rekyan
Apatih segera bertindak, “Tidak ada seorangpun di negara Dewani yang
caplang kumisnya dan dadanya yang sentosa tertumbug bulu, yang bisa menjadikan
negara ini berdiri tegak. Tanpamu Patih, negara ini telah hancur dari dahulu.
Berangkatlah kamu puji do’aku mengiringi usahamu dalam tugas suci untuk negara”.
Demikianlah, maka Patih amir segera
mengundurkan diri. Ia adalah patih sakti dari golongan jin dan ia tahu
kemana ia harus mencari orang yang dimaksud oleh Dewi Nurrani. Segera ia
menerapkan mantra sakti untuk menjelajahi tempat yang dituju dengan melalui
angkasa.
Kembali ke gua tempat bertapa Sayid Anwar.
Ketika itu sudah mencapai tataran terakhir waktu dan laku tapa Sayid Anwar.
Walau telah sekian lama menjalani penyiksaan diri, namun wadag Sayid Anwar
tetap sentosa. Bahkan disana sini Sayid Anwar merasakan, betapa panggraita dan
kesegaran raganya menjadi bertambah berlipat ganda. Maka ketika itu, ia
merasakan firasat, bahwa akan tiba ganjaran yang bakal ia dapat.
Disaat itulah Patih Amir tanpa kesulitan
menemukan dimana adanya yang dituju. Aura Sayid Anwar yang menjulang menembus
dinding gua dan kelebatan rimba wilayah Dewani terlihat gamblang oleh Sang
Patih Amir. Tanpa ragu, Patih Amir turun dari angkasa langsung menuju gua
tempat Sayid Anwar mesu diri.
“Andika yang sedang bertapa, jauhkanlah
diriku dari kemurkaan dewa, karena aku telah berani menghentikan tapa andika.
Perkenankan aku memasuki gua dan berbicara dengan andika”.
Sayid Anwar yang sudah melepas laku tapanya
dengan kata-kata yang berwibawa menyahut, “Silakan tamuku, marilah masuk
kedalam”.
Patih Amir melangkah tanpa ragu. Ketika
itulah ia melihat Sayid Anwar dalam hati mengatakan, bahwa manusia inilah
yang dicarinya. Maka katanya, “Andika pertapa muda, perkenankan aku
menyebut diriku yang telah berani menghentikan tapa andika” Basa basi Patih
Amir memulai pembicaraan setelah mereka berhadapan. Lanjutnya, “Aku adalah
Patih dari negara Dewani, namaku adalah Patih Amir.
“ Kalau begitu, aku
berhadapan dengan wakil dari penguasa Dewani. Hamba memohon maaf bila selama ini
aku menjalankan tapa diwilayah Dewani tanpa meminta ijin”
“Nanti dulu, andika belum menyebutkan jati
diri andika” Sahut Patih
Amir.
“Hamba adalah dari golongan manusia. Nama
hamba adalah Sayid Anwar, putra dari penguasa negari Makkah yang bernama Nabi
Sis”.
“Ternyata andika manusia yang datang dari
jauh. Tetapi kembali ke persoalan tadi, seharusnya memang demikian, siapapun
yang memasuki wilayah kekuasaan makluk lain haruslah meminta ijin dari penguasa
itu. Dan di wilayah Dewani ini, adalah sebenarnya merupakan kekuasaan
dari Rajaku yang bernama Prabu Nurradi”. Sambil berkata demikian, Patih Amir menemukan akal
bagaimana ia mengajak serta Sayid Anwar pulang bersama ke Kerajaan Dewani.
Maka kemudian ia menyambung, “Baiklah,
masalah pengampunan bahwa andika telah berlaku lancang masuk ke wilayah Dewani
tanpa ijin, hanya paduka Prabu Nurradi yang berhak memberikan maaf. Marilah aku
hadapkan andika ke raja hamba”.
Sayidina Anwar tidak bisa menolak. Maka kemudian mereka
beranjak dari dalam gua, kembali ke kerajaan Dewani.
Berbinar mata Dewi
Nurrini ketika yang dibayangkan siang dan malam seusai ia bermimpi, nyata telah
ada dihadapannya.
Prabu Nurhadi mencari menantu
Tersebutlah raja jin di Pulau Maladewa bernama Prabu Nurhadi, yang masih keturunan Jan Banujan, leluhur para jin di dunia. Ia memerintah didampingi saudaranya yang bernama Patih Amir. Pada suatu hari, putri tunggal Prabu Nurhadi yang bernama Dewi Nurrini bermimpi didatangi seorang kakek tua yang memberi tahu bahwa jodohnya yang bernama Sayidina Anwar sudah dekat, dan saat ini bertapa di sebuah gua. Kakek tua itu mengabarkan bahwa perkawinan Dewi Nurrini dengan Sayidina Anwar kelak akan menurunkan raja-raja Tanah Hindustan dan Tanah Jawa.
Dewi Nurrini menceritakan apa yang dialaminya kepada sang ayah. Prabu Nurhadi lalu mengutus Patih Amir untuk pergi menyelidiki laki-laki yang digambarkan sang putri dalam mimpinya itu. Patih Amir pun mohon diri dan berangkat.
Perjalanan Patih Amir akhirnya sampai di Pulau Lakdewa dan ia menemukan seorang laki-laki di dalam gua yang tubuhnya bercahaya tapi tidak menyilaukan, seperti sinar bulan purnama. Setelah berkenalan dan mengetahui bahwa laki-laki itu bernama Sayidina Anwar seperti yang ia cari, Patih Amir pun mengajaknya pergi ke Pulau Maladewa untuk bertemu Prabu Nurhadi dan Dewi Nurrini.
Sayidina Anwar (Nurcahya) menikah dengan Dewi Nurrini
Prabu Nurhadi menerima kedatangan Sayidina Anwar dan Patih Amir. Dilihatnya sosok Sayidina Anwar ternyata berwajah tampan dan tubuhnya bercahaya seperti bulan purnama, membuat hatinya sangat berkenan. Dewi Nurrini juga yakin kalau Sayidina Anwar ini sesuai dengan petunjuk yang diberikan si kakek tua dalam mimpi. Maka pernikahan di antara mereka pun dilangsungkan di Pulau Maladewa, dan Sayidina Anwar berganti nama menjadi Sang Hyang Nurcahya.
Singkat cerita, Dewi Nurrini telah mengandung dan melahirkan seorang bayi laki-laki yang diberi nama Sang Hyang Nurrasa. Prabu Nurhadi merasa sudah tiba saatnya untuk mengundurkan diri dari takhta Kerajaan Maladewa, dan menyerahkannya kepada sang menantu. Maka sejak saat itu, Sang Hyang Nurcahya menjadi pemimpin Kerajaan Maladewa, yang namanya kemudian diganti menjadi Kahyangan Pulau Dewa.
Di Kahyangan Pulau Dewa, Sang Hyang Nurcahya dihadap Sang Hyang Nurrasa dan Patih Amir. Yang dibicarakan adalah rencana Sang Hyang Nurcahya untuk mewariskan takhta beserta semua pusaka kepada Sang Hyang Nurrasa yang dianggap telah cukup dewasa. Namun Sang Hyang Nurrasa merasa belum memiliki kemampuan untuk memikul tanggung jawab berat ini.
Sang Hyang Nurcahya lalu memerintahkan putra tunggalnya itu untuk segera menikah sehingga memiliki istri yang bisa diajak berunding dalam memutuskan permasalahan. Lagi-lagi Sang Hyang Nurrasa menolak karena masih ingin menambah ilmu dan pengalaman, apalagi dirinya belum mengetahui siapa wanita yang cocok untuk dijadikan pasangan hidup. Sang Hyang Nurcahya marah dan mengusir Sang Hyang Nurrasa pergi meninggalkan Kahyangan Pulau Dewa.
Sepeninggal Sang Hyang Nurrasa, Patih Amir memohon supaya Sang Hyang Nurcahya mengampuni Sang Hyang Nurrasa dan memerintahkannya kembali. Namun Sang Hyang Nurcahya menjelaskan bahwa kemarahannya tadi hanyalah pura-pura untuk mengukur sampai sejauh mana keteguhan hati dan kedalaman ilmu putranya. Sang Hyang Nurcahya lalu memerintahkan Patih Amir untuk mengawasi perjalanan Sang Hyang Nurrasa dari kejauhan. Sang Patih menurut dan segera berangkat.
*** Melestarikan budaya nasional warisan leluhur sebagai wujud jati diri dan watak bangsa Indonesia.
Sumber: media Seni budaya wayang Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar