Sejarah Sang Hyang Wenang
SANGHYANG NURCAHYA MEWARISKAN KAHYANGAN PULAU DEWA
Sanghyang Nurcahya dan Dewi Nurrini menyambut kedatangan Sanghyang Nurrasa dan Dewi Rawati dengan suka cita. Sanghyang Nurcahya kemudian menyatakan pengunduran dirinya sebagai penguasa Kahyangan Pulau Dewa. Ia telah menulis semua pengalaman hidupnya dalam sebuah kitab gaib bernama Pustaka Darya, dan menyerahkannya kepada Sanghyang Nurrasa bersama pusaka-pusaka yang lain, yaitu Tirtamarta Kamandanu, Cupumanik Astagina, Lata Mahosadi, dan Retna Dumilah.
Setelah Sanghyang Nurrasa meminum Tirtamarta Kamandanu, Sanghyang Nurcahya kemudian menitis ke dalam dirinya, bersatu jiwa raga dengan putranya tersebut. Sejak saat itu, Sanghyang Nurrasa pun menjadi pemimpin tertinggi di Kahyangan Pulau Dewa.
KELAHIRAN ANAK-ANAK SANGHYANG NURRASA
Beberapa bulan kemudian, Dewi Rawati melahirkan putra berupa Sotan, yaitu suara tanpa rupa, berjumlah dua dan saling berebut siapa yang lebih tua. Sanghyang Nurrasa lalu mengheningkan cipta memasuki alam gaib dan membina semua rahsa, sehingga kedua suara itu dapat dikumpulkan dan diberi wujud. Yang bersuara besar dijadikan anak pertama, diberi nama Sang Supi, bergelar Sanghyang Darmajaka, atau Sanghyang Wening, sedangkan yang bersuara kecil dijadikan anak kedua, diberi nama Sang Jaji, bergelar Sanghyang Wenang.
Beberapa tahun kemudian Dewi Rawati melahirkan anak ketiga, berwujud Akyan atau jin sejati, yang oleh Sanghyang Nurrasa diberi nama Sanghyang Taya. Ketiga putra Sanghyang Nurrasa itu sama-sama suka bertapa dan belajar ilmu kesaktian, dan yang paling menonjol di antara mereka adalah Sanghyang Wenang.
PRABU HARI MENYERANG PULAU DEWA
Tersebutlah seorang raja jin bernama Prabu Hari dari Kerajaan Keling. Ia mendengar adanya penguasa bernama Sanghyang Nurrasa di Kahyangan Pulau Dewa yang telah banyak menundukkan kaum jin. Prabu Hari merasa penasaran dan berniat mencoba ilmu kesaktian Sanghyang Nurrasa. Bersama Patih Sangadik dan sekutunya yang bernama Prabu Sikanda dari Kerajaan Selongkandi, mereka pun berangkat menyerang Pulau Dewa.
Sesampainya di sana, Sanghyang Nurrasa justru menyambut kedatangan mereka dengan ramah. Tak disangka, Sanghyang Nurrasa ternyata sudah mengetahui maksud dan tujuan para jin tersebut dan menyerahkan semua urusan kepada para putra.
Maka, Prabu Hari pun berhadapan dengan Sanghyang Wenang. Meskipun baru bertemu, namun Sanghyang Wenang dapat menebak asal-usul Prabu Hari, yaitu putra Jin Saraba. Adapun Jin Saraba adalah saudara dari Prabu Nurhadi, Prabu Rawangin, Patih Parwata, dan Patih Amir. Juga ada lagi saudara mereka yang lebih tua bernama Prabu Palija, raja Kerajaan Keling sebelumnya. Setelah Prabu Palija turun takhta, Kerajaan Keling diserahkan kepada putranya yang bergelar Prabu Sangadik. Namun Prabu Sangadik dapat dikalahkan oleh sepupunya sendiri, yaitu Prabu Hari tersebut. Prabu Sangadik lalu menyerahkan Kerajaan Keling kepada sepupunya itu, juga mempersembahkan putrinya yang bernama Dewi Wisawati. Prabu Hari kemudian menikahi Dewi Wisawati, sedangkan Prabu Sangadik ditetapkan sebagai patih.
Prabu Hari malu sekaligus marah karena asal-usulnya dapat ditebak. Ia pun menyerang Sanghyang Wenang dan terjadilah pertempuran. Namun pertempuran itu dapat dimenangkan oleh Sanghyang Wenang. Disisi lain, Prabu Sikanda juga dapat dikalahkan oleh Sanghyang Darmajaka, sedangkan Patih Sang adik menyerah kalah kepada Sanghyang Taya.
SANGHYANG NURRASA MENGUNDURKAN DIRI
Sanghyang Nurrasa sangat senang melihat kemenangan putra-putranya, terutama kepada Sanghyang Wenang yang memiliki kepandaian paling tinggi. Ia pun mengubah permusuhan menjadi persahabatan dengan melamar putri-putri Prabu Sikanda dan Prabu Hari untuk menjadi menantunya. Kedua raja jin sangat gembira dan menerima lamaran tersebut dengan senang hati.
Maka, diadakanlah pernikahan antara Sanghyang Darmajaka dengan Dewi Sikandi putri Prabu Sikanda, serta Sanghyang Wenang dengan Dewi Sahoti putri Prabu Hari. Adapun Sanghyang Taya kelak akan bertemu jodohnya di lain waktu, demikian nasihat Sanghyang Nurrasa.
Tidak hanya itu, Prabu Sikanda juga menyerahkan Kerajaan Selongkandi kepada Sanghyang Darmajaka untuk menjadi penguasa di sana, sedangkan Prabu Hari menyerahkan Kerajaan Keling kepada Sanghyang Wenang. Namun Sanghyang Nurrasa memiliki rencana lain, yaitu mengangkat Sanghyang Wenang sebagai ahli waris Kahyangan Pulau Dewa. Adapun Kerajaan Keling sebaiknya diserahkan kepada putra Sanghyang Wenang yang lahir dari Dewi Sahoti.
Setelah keputusan diambil, Sanghyang Nurrasa lalu menyerahkan semua pusaka peninggalan Sanghyang Nurcahya kepada Sanghyang Wenang, lalu ia pun menitis dan bersatu jiwa raga dengan putra keduanya itu. Maka, sejak saat itu Sanghyang Wenang menjadi penguasa tertinggi di Kahyangan Pulau Dewa dengan bergelar Sanghyang Jatiwisesa, sedangkan Sanghyang Darmajaka menjadi penguasa Kahyangan Selongkandi dengan bergelar Sanghyang Purbawisesa. Sementara adik mereka, yaitu Sanghyang Taya memakai gelar Sanghyang Pramanawisesa.
KELAHIRAN SANGHYANG TUNGGAL
Setahun kemudian, Sanghyang Wenang membangun kahyangan baru yang melayang-layang di atas Gunung Tunggal, yang masih di dalam wilayah Pulau Dewa. Bersamaan dengan itu, Dewi Sahoti melahirkan putra pertama yang berwujud Akyan, dengan diliputi cahaya merah, kuning, hitam, dan putih. Sanghyang Wenang memandikan putranya itu dengan Tirtamarta Kamandanu sehingga keempat cahaya pun bersatu ke dalam diri si bayi yang langsung berubah dewasa.
Sanghyang Wenang kemudian memberi nama putra pertamanya itu Sanghyang Tunggal, sesuai nama Kahyangan Gunung Tunggal yang ditempatinya.
(Silsilah keluarga Sang Hyang Wenang)
(Dari sini sejarah pewayangan mulai banyak terpecah (tergantung serat wayang yang dipakai).
sumber: Media Seni Budaya Wayang Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar