Berebut Minyak Tala
(Kemunculan Durna)
|
Begawan Abiyasa |
Pagi
itu Dalem induk Panggombakan yang sekitarnya banyak ditumbuhi pohon besar kecil
nan rindang, ramai oleh kicaunya burung-burung. Teristimewa suara burung
prenjak bersautan persis didepan rumah sebelah kanan. Biasanya itu pertanda
akan datang seorang wiku, pandhita atau panembahan. Semar meyakini pertanda
itu, maka ia bersama para abdi panggombakan mempersiapkan segala sesuatu untuk
menyambut tamu agung tersebut.
Keyakinan
Semar dalam menanggapi pertanda alam melalui suara burung prenjak menjadi
kenyataan. Tak lama kemudian, datanglah Begawan Abiyasa dari Pertapaan
Saptaarga. Yamawidura, Kunthi dan Pandhawa tergopoh-gopoh menyambutnya.
Kedatangan Begawan Abiyasa sungguh amat tepat, karena kerabat Pandhawa sedang
gundah hatinya menyusul pengusirannya dari Negara Hastinapura. Bagaikan air
kendi yang telah berusia delapan tahun menyiram kepala dan hatinya. Dingin
menyegarkan. Suasana menjadi tenang tentram.
|
Patih Sangkuni |
Belum
genap sepekan Begawan Abiyasa tinggal di Panggombakan, tiba-tiba suasana damai
dihempaskan oleh kedatangan Patih Sengkuni dan para Kurawa. Dengan alasan
karena terdorong oleh kerinduannya kepada sauadaranya yaitu para Pandhawa.
Namun ternyata itu sekedar basa-basi yang tidak berlangsung lama. Rupanya para
Kurawa telah mengatur strategi. Beberapa orang ditugaskan untuk menjauhkan Bima
dan saudaranya dengan Begawan Abiyasa. Karena yang menjadi tujuan utama adalah
untuk menemui Begawan Abiyasa. Pada mulanya mereka menghaturkan sembah seperti
layaknya seorang cucu kepada eyangnya yang bijak. Tetapi apa yang kemudian
terjadi? Para Kurawa yang diwakili Patih Sengkuni menanyakan perihal Lenga
(minyak) Tala milik Begawan Abiyasa. “Kami tidak percaya bahwasanya Sang Begawan
tidak membawanya. Tidak mungkin Lenga Tala lepas dari dirinya. Karena Lenga
Tala merupakan minyak yang mempunyai kasiat luar biasa. Siapa saja yang sekujur
badannya diolesi Lenga Tala ia tidak akan terluka oleh bermacam jenis senjata.
Oleh karena itu kedatangan kami ke Panggombakan ini untuk memimta Lenga Tala
sekarang juga. Jika Sang Begawan Abiyasa mengatakan bahwa Lenga Tala tidak
dibawa, kami akan melepaskan semua pakaian yang menempel, untuk membuktikan
bahwa Sang Begawan telah membohongi kami! He he he.”
|
Pandita Durna |
Belum
mendapat jawaban, Dursasana mulai melakukan aksinya. Ia dengan cepat
menjulurkan tangannya dan menarik ubel-ubel tutup kepala yang dipakai Begawan
Abiyasa. Bersamaan itu tampaklah benda bercahaya berbentuk oval, berujud cupu,
jatuh dan menggelinding di lantai. Dengan cekatan Dursasana menyahut benda
tersebut dan membawanya kabur, seraya terkekeh-kekeh. “Memang benar engkau
tidak berhohong hai Abiyasa, bahwa dirimu tidak membawa Lenga Tala. Karena yang
membawa adalah aku, hua ha ha” Dursasana berlari sambil menari-nari menimang
cupu yang berisi Lenga Tala, diikuti oleh Patih Sengkuni, Duryudana dan
beberapa Kurawa. Abiyasa bersama beberapa cantrik tidak mampu berbuat apa-apa.
Namun dibalik raganya yang lemah, Sang Begawan Abiyasa mempunyai kekuatan lain
yang jauh melebihi kekuatan ragawi manapun, yaitu dengan kekuatan sabda yang
keluar dari mulutnya. “Inikah Destrarastra hasil didikkanmu? Apakah engkau
tidak cemas bahwa suatu saat perilaku anak-anakmu Kurawa yang diperbuat untukku
akan menimpamu pula? Bahkan lebih dari itu, mereka akan beramai-ramai
menginjak-injak kepalamu, hai Destarastra. Dan engkau Sengkuni. Karena
mulutmulah semua ini terjadi. Oleh karena hasutanmu, mulutmu akan menjadi
lebar, selebar badanmu.”
Para
cantrik mengerti bahwa apa yang di katakan Guru mereka tidak sekedar ungkapan
ketidak puasan, tetapi merupakan kutukan bagi Drestarastra dan Patih Sengkuni.
Maka ketika guntur menggelegar dibarengi angin bertiup kencang, para Cantrik
merasa ngeri, karena hal tersebut menjadi pertanda bahwa kutukan Begawan
Abiyasa benar-benar akan terjadi.
|
Durna |
Para
cantrik Padepokan Saptaarga yang ikut ke Panggombakan merasa tercabik hatinya,
menyaksikan Sengkuni dan para Kurawa menghina guru mereka, Begawan Abiyasa.
Sikap diam mereka bukan karena ketakutan, tetapi bagi mereka tidaklah terpuji
membuat keributan pada saat bertandang di Panggombakan. Karena kesadaran
tersebut, tanpa diperintah salah satu diantara para cantrik berlari keluar,
untuk melaporkan kejadian tersebut kepada Bimasena.
Sementara
itu, rombongan Kurawa yang berhasil membawa Lenga Tala, bergantian
menimang-nimang benda berbentuk oval bercahaya, sembari menari-nari di
sepanjang jalan. Para peladang yang sedang merawat tanamannya, memilih
menyembunyikan diri, dari pada harus memberi hormat sembah kepada para
bangsawan yang tidak mereka sukai. Burung-burung pun terbang berhamburan
meninggalkan pepohonan di pinggir jalan untuk mengabarkan kepada kawula
Panggombakan untuk menjauhi jalan yang akan dilewati rombongan Patih Sengkuni
dan para Kurawa, supaya hati mereka tidak dikotori oleh kejahatannya.
|
Dewi Kunthi |
Cupu
bercahaya berisi Lenga Tala yang dapat membuat kekebalan badan dari serangan
segala jenis senjata dan pusaka, sungguh menyilaukan hati Patih Sengkuni dan
Kurawa. Oleh karena nafsunya itu, mereka tidak memperdulikan lagi sesamanya,
bahkan saudaranya atau malah pepundhennya yang seharusnya mereka hormati.
Saking asyiknya mengamati benda hasil rampasannya, Patih Sengkuni dan Para
Kurawa tidak menyadari bahwa Bimasena telah menyusul mereka.
Panas
hati Bima. Ia tidak mampu lagi membendung luapan amarah. Tanpa banyak kata,
dengan cepat kaki Bima yang perkasa menghampiri dada Dursasana. Terjengkanglah
Dursasana menimpa Kurawa yang lain. Saat itulah tiba-tiba Bimasena merebut
Lenga Tala dari tangan Duryudana. Patih Sengkuni kebingungan, seperti orang
kebakaran jenggot. Dengan suara parau ia berteriak “Kejar Bimasena dan rebut
Lenga Tala!” Dursasana segera bangkit mengejar Bimasena, diikuti Duryudana dan
adik-adiknya serta Patih Sengkuni.
Bimasena
adalah seoarang Ksatria sejati. Ia tidak lari. Dengan dada tegak Bima menunggu
terjangan para Kurawa. Bimasena bergeming menerima pukulan bertubi-tubi. Ia
berusaha dengan sekuat tenaga mempertahankan Lenga Tala. Namun sedahsyat apapun
tenaga manusia tentu ada batasnya. Demikian pula Bimasena, menghadapi keroyokan
para Kurawa. tenaganya semakin menyusut. Pada saat kelelahan, ia memutuskan
untuk melempar Lenga Tala, jauh ke arah gunung Sataarga. Sengkuni dan para
Kurawa terkejut sesaat, namun kemudian bagaikan gerombolan Serigala mengejar
Domba, mereka berlari kearah jatuhnya Cupu Lenga Tala. Bimasena dan Harjuna dan
beberapa cantrik menyusulnya. Bima berdiri tegak memandang ke arah jatuhnya
Cupu Lenga Tala. Ada kelegaan dihati Bima, ketika ia membayangkan bahwa cupu
tersebut akan membentur batu dan isinya tumpah, tidak dapat dimanfaatkan.
|
Prabu Duryudana |
Tidaklah
mudah untuk menemukan cupu yang dilempar Bimasena. Walaupun dengan sisa
tenaganya, lemparan Bimasena jauh hingga menjangkau di balik bukit, sehingga
Patih Sengkuni dan Kurawa kehilangan arah jatuhnya Cupu Lenga Tala. Menjelang
sore, Cupu Lenga Tala belum di temukan. Akhirnya Patih Sengkuni dan Kurawa
dipaksa menghentikan pencariannya, karena hari mulai gelap. Mereka bertekad
tidak akan pulang ke Negara Hastinapura sebelum dapat menemukan cupu tersebut.
Malam
merambat pelan. Di tempat peristirahatan, Patih Sengkuni, Duryudana dan Dursana
tidak dapat segera memejamkan mata. Kekhawatiran yang sama, muncul di dalam
benaknya. Mereka khawatir jika malam terlalu panjang, Cupu Lenga Tala ditemukan
orang lain. Niat mereka inging merobek malam sehingga pagi segera menjelang,
untuk melanjutkan usahanya mencari dan menemukan Lenga Tala. Namun sang malam
berjalan seperti biasanya, hingga gelapnya mencapai titik sempurna. Pada saat
itu, hampir bersamaan, ketiganya tercengang melihat seleret sinar kebiru-biruan
yang membelah langit dari bawah ke atas. Tanpa diperintah ketiganya bergegas
menuju tempat asal sinar misterius tersebut. Karena kegaduhan langkah mereka,
para Kurawa yang lain terbangun dari tidurnya. Tanpa mengetahui apa yang
dilakukan oleh para pimpinan mereka, mereka bangun menyusul Patih Sengkuni,
Duryudana dan Dursasana yang sudah mendahului hilang ditelan pekatnya malam.
|
Bimasena |
Niat
Patih Sengkuni, Duryudana, Dursasana dan Kurawa lainnya berubah. Jika semula
mereka menginginkan hari segera pagi, namun dengan adanya cahaya kebiru-biruan,
mereka bermaksud menghentikan gelap, sebelum dapat menemukan apa yang menjadi
sumber cahaya tersebut. Karena di dalam gelap mereka dapat dengan jelas melihat
sinar kebiru-biruan itu, sehingga dengan mudah dapat menemukan tempat cahaya
itu berasal.
Di
pinggir hamparan tanah pategalan, tepatnya di sebuah sumur tua, awal dari
cahaya itu. Secara bebarengan mereka mendekati sumur melongok di dalamnya. Mata
mereka berkilat-kilat melihat benda yang menjadi sumber dari cahaya. Hampir
bersamaan mereka berucap “Cupu Lenga Tala.” Betapa senang hati mereka melihat
benda yang dicarinya ada di depan mata dalam keadaan utuh. Maksud hati ingin
segera mengambilnya, namun mereka kebingungan bagaimana caranya? Sumur yang
tidak begitu luas itu amat dalam. Dinding sekelilingnya penuh lobang, ditumbuhi
semak belukar. Tampaklah di antara rimbunnya semak, beberapa ekor ular berbisa
dengan badannya yang mengkilat tertimpa cahaya. Melihat keadaan sumur yang
menyeramkan, diantara mereka tidak ada yang punya nyali untuk masuk ke dalam
sumur. Beberapa lama mereka mondar-mandir di seputar sumur, tanpa berbuat
sesuatu.
Bersamaan
dengan merekahnya fajar di ujung Timur, Bimasena, Harjuna dan
saudara-saudaranya datang. Sengkuni menyapanya dengan amat manis. “Anak-anakku
Pandawa, kebetulan kalian datang. Hampir saja kami putus asa tidak dapat
menemukan Cupu Lenga Tala. Sekarang cupu telah diketemukan di dalam sumur tua
ini. Namun di antara kami tak ada berani mengambil. Hanya kalianlah yang kami
harapkan dapat mengambilnya, untuk kemudian dibagi dengan adil.” Bimasena dapat
menangkap dibalik kata-kata manis, ada tipu muslihat yang kotor. “Aku tidak
mau! biarlah Cupu Lenga Tala tenggelam di dasar sumur, dari pada jatuh ke
tangan orang-orang durhaka.”
Bimasena
dan saudara-saudaranya ingin segera pergi, tanpa berniat melongok sumur tua
itu. Namun langkah mereka terhenti ketika melihat kelebatnya seseorang. Dengan
langkahnya yang ringan orang tersebut menuju sumur tua. Ia membawa rumput
kalanjana yang telah disambung-sambung. Semua mata menatapnya. Walaupun
badannya cacat, mata orang itu tajam bagai elang. Kewibawaan memancar kuat
darinya. Sesampainya di bibir sumur, sembari menebarkan pandangan ke arah
Kurawa dan Pandhawa, ia berkakata. “Apa yang kalian inginkan dariku?” “Ambilkan
benda itu untuk kami!.” Teriak para Kurawa. “Baiklah! Lihatlah!” Seperti
mendapatkan aba-aba, para Kurawa berebut merapat di bibir sumur, ingin melihat
apa yang akan dikerjakan orang asing tersebut. Dengan penuh keyakinan ia
menurunkan rangkaian rumput kalanjana ke dalam sumur. Ditanganya, sambungan
rumput-rumput itu berubah bagaikan seekor naga kecil yang ganas, menyergap Cupu
Lenga Tala, dan mengangkatnya ke permukaan sumur. Dalam sekejap Cupu Lenga Tala
telah berada dalam genggamannya. Para kurawa bersorak gembira. Bagaikan
anak-anak kecil yang mendapatkan kembali mainan kesukaannya. Mereka saling
berdesakan, berebut menjulurkan tangannya, untuk mendapatkan Cupu Lenga Tala.
Orang
asing tersebut mengerutkan keningnya, ia nampak tidak senang atas perilaku para
Kurawa. “Tidak sembarang orang yang mempunyai benda istimewa ini. Aku ingin
bertemu dengan pemiliknya untuk mengembalikan padanya.” Dalam hati mereka
bertanya-tanya. siapakah orang ini? Apakah dia kenal dengan Begawan Abiyasa,
pemiliknya?. Namun mereka tidak berani menanyakan hal tersebut. Ada rasa getar
dan takut menyaksikan kesaktian yang telah ditunjukkan. Oleh karena itu para
Kurawa tidak berani memaksakan kehendak untuk mendapatkan Cupu Lenga Tala.
Mereka menyerahkan kepada Patih Sengkuni yang dipercaya mempunyai banyak siasat
untuk mendapatkan cupu dari tangan orang asing tersebut.
Sementara
itu para Pandhawa justru lebih tertarik kepada perilaku orang asing tersebut
yang dipercaya mempunyai segudang ilmu tingkat tinggi, dari pada Cupu Lenga
Tala. Bagi para Pandhawa yang sejak kecil gemar berguru, bertemu dengan orang
berilmu tinggi merupakan kesempatan yang tidak boleh sia-siakan. Maka dengan
tak segan-segan mereka menghampirinya. Harjuna bersimpuh menyembahnya dan
Bimasena mengangkat orang itu di atas kepala wujud lain dari sembah Bimasena.
Keduanya hampir bersamaan berucap: “Perkenankanlah aku menjadi muridmu ya maha
guru.” Orang itu terharu karenanya.. Sejak awal ia mengamati Bimasena dan
Harjuna. Matanya yang tajam dapat melihat kejujuran, kepatuhan, kesetiaan dan
bakat yang luar biasa dibalik ketampanan Harjuna dan kegagahan Bimasena.
Gayungpun pun bersambut. Sesungguhnya penggembaran orang asing tersebut hingga
sampai ke tempat ini dalam upaya mencari murid terbaik. Dan saat ini telah
ditemukan dalam diri Harjuna dan Bimasena.. “Siapa namamu bocah bagus?” “Nama
hamba Harjuna” “Dan kau bocah gagah perkasa?” “Bimasena” “Baiklah Harjuna dan
Bimasena mulai hari ini kalian aku angkat menjadi muridku”
Orang
sakti bertubuh cacad itu telah mengangkat murid baru, Bimasena dan Harjuna, dan
disusul Puntadewa, Nakula dan Sadewa. Dalam pernyataan awal mereka berlima
berjanji akan selalu patuh kepada guru. “Ha, ha, ha, bagus-bagus! Aku tidak
menyangka bertemu kalian berlima yang terkenal dengan sebutan Pandhawa Lima.
Dengan suka hati aku bersedia menjadi gurumu”
Patih
Sengkuni gusar. Orang asing yang berhasil mengambil Cupu Lenga Tala, telah
mengangkat murid Pandhawa. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa Lenga Tala
akan diberikan Pandhawa. Apalagi setelah mengetahui bahwa para Kurawa telah
merebut paksa dari tangan Begawan Abiyasa. Namun sebelum kemungkinan paling
buruk terjadi, Patih Sengkuni segera mendekatinya, dengan penuh hormat ia
memperkenalkan diri. “Namaku Sengkuni, patih Hastinapura, dan yang berada di
sekitar sumur itu adalah putra-putra raja. Jika diperbolehkan aku akan
memanggilmu Kakang, seperti layaknya sebutan untuk saudara tua. Kebetulan Sang
raja butuh guru sakti bagi putra-putranya. Untuk itu kakang, sekarang juga
engkau aku ajak menghadap raja. Aku akan meyakinkan kesaktianmu, sehingga raja
berkenan mengangkatmu menjadi guru resmi istana.”
Sebenarnya
orang asing tersebut tidak membutuhkan murid, selain Pandhawa lima. Namun
tawaran Patih Sengkuni perlu dipertimbangkan. Karena dengan menjadi guru
istana, ia dapat memanfaatkan kekuatan dan kebesaran Hastinapura untuk
tujuan-tujuan pribadi. “Baiklah Adhi Sengkuni, aku terima tawaranmu, asalkan
anakku Aswatama dan Pandhawa lima boleh masuk ke istana untuk bersama
putra-putra raja mendapatkan ilmu dariku.”
Sengkuni
keberatan dengan syarat itu. Ia tidak suka Pandhawa tinggal di istana. Bahkan
beberapa waktu lalu Patih Sengkuni berhasil membujuk raja untuk mengusir
Pandhawa, dengan alasan bahwa Pandhawa telah menghasut rakyat untuk memusuhi
raja. “Jika kalian keberatan dengan syarat itu, akupun keberatan untuk masuk
istana. Maaf! Selamat tinggal! Ayo murid-muridku, ikutilah aku!”
“Adhuh
celaka! Lenga Tala dibawa! Para Kurawa kejar dia!!”
Ketika
Kurawa bergerak untuk mengejar mereka, tiba-tiba kabut tebal menghadang jalan.
Orang sakti dan Pandawa lima lenyap di balik putihnya kabut.
sumber: media seni budaya wayang Indonesia